Pulang Kampung seharusnya bisa untuk menyegarkan, sekaligus mengurangi beban pikiran setelah berkutat dengan rutinitas di kota. Namun itu tidak terjadi denganku, lihatlah baru saja tiba dirumah sehabis pulang dari Jakarta. Aku langsung disuruh duduk di sofa dan diinterogasi ibu dan anggota keluarga lainnya yang mengelilingiku.
"Aduh, piye nduk. Kamu ini, kok masih tetap saja sendiri. Padahal ibu berharap kamu sudah punya calon, dan bisa dikenalkan saat pulang Kediri," omel Ibuku.
Orang yang paling getol menekanku segara menikah. Ya, Ibu. Menurutku, ia seorang yang sukanya mengomeli siapa saja, ketika menurut pandangan beliau seseorang itu tidak sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Contohnya, ya aku. Walaupun ngomongnya kadang bisa nyelekitin hati orang, sebenarnya ibu adalah yang baik dan sayang kepada semua anaknya.
Ibuku namannya Surnasih Ningrum, wanita yang sampai kapanpun akan selalu aku sayangi. Meskipun, aku sedikit tidak suka dengan ocehan wanita itu. Dia sehari-harinya sebagai ibu rumah tangga dan mengenakan gamis dan hijab berwana hitam.
Bahkan ketika itu mberitahukan kepada kedua orang tua, saat aku diterima bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta. Ibu adalah orang paling mengkhawatirkan aku, bahkan aku masih ingat saat itu. Bagaimana reaksi beliau, beliau menangis karena begitu cemasnya. Tidak berhenti disitu saja ibu mengizinkan anaknya kerja diluar kota, asal aku bisa menjaga diri—terutama dari pergaulan bebas dikota besar seperti Jakarta.
Awalnya aku protes, kenapa selalu membatasi aktivitas anaknya. Namun setelah itu aku sadar, apa yang dikhawatirkan ibu benar. Bahkan aku sedikit merasakan pengaruh bagaimana pergaulan disana.
Aku mendudukkan diri dan menyandarkan kepala ke sofa, sembari menghela napas. Apalagi tubuhku sedikit kelelahan setelah perjalanan panjang menaiki kereta lebih dari dua belas jam dan baru tiba pagi ini jam lima belas menit yang lalu. Anaknya yang baru pulang bukannya ditanya 'bagaimana keadaanmu disana', malah pertanyaan yang belakangan ini aku ingin, hindari.
"Insyaallah Bu. Kalau sudah ketemu pada waktunya, pasti Nadhira akan kenalan." Hanya alasan ini yang bisa aku sampaikan saat ini.
Aku melihat kedua mata ibu, yang menyipitkan mata kearahku. Kedua tangannya bersilang didada, aku berusaha menaikkan kedua ujung bibir. Meskipun itu, tidak sampai ke mata. Dengan sikap ibu seperti ini, aku yakin sebentar lagi akan mendapatkan ceramah.
"Nadhira, anaku sayang." Ah, aku hapal bagaimana cara ibu, ingin menceramahi anak-anaknya. Yaitu dengan dibuka dengan kalimat manis dulu. Namun setelah itu tahu sendiri.
"Bagaimana sih, umur sudah matang dan punya pekerjaan bisa dibilang mapan. Tapi masih saja gak nikah-nikah. Mau nikah umur berapa kamu, tiga puluh, tiga lima atau bahkan sudah jadi nenek-nenek. Kakakmu saja menikah umur dua enam, padahal ia laki-laki," ibu sambil melirik kakakku duduk di samping istrinya, yang sedari tadi memilih diam, "lihat. Teman-temanmu disini, sudah menikah bahkan sudah punya anak."
Aku paham keinginan ibu, tapi apakah ada seseorang yang tahu kapan dia akan menikah. Semuanya sudah ditulis oleh Allah dalam kitab-Nya Lauh Mahfuz, lima puluh ribu tahun sebelum dunia dan langit diciptakan. Bukannya, aku tidak berusaha. Bahkan aku sudah berusaha beberapa kali, hanya saja kandas ditengah jalan. Tak satupun pria yang serius denganku.
"Kamu tahu Sinta?" Aku mengangguk, siapa yang tidak kenal dengannya. Wong dia adalah teman bermainku dari kecil sampai duduk bangku SMA hingga lulus.
"Dia sudah punya anak dua, bahkan saat ini dia tengah mengandung anak ketiga."
Lihatlah ibu membandingkan diriku dengan seseorang tidak objektif sekali. Wajar Sinta punya anak dua. Eh bukan, malah mau tambah jadi tiga. Dia kan sudah menikah saat baru saja lulus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Sebelum Hilal
EspiritualNadhira yang dibuat bingung ketika terus didesak orang-orang terdekatnya agar segera menikah, terlebih usianya sudah memasuki 28. Masalah menjadi rumit ketika ibunya memberikan kesempatan hanya sampai sebelum lebaran, agar dia mencari calon sesuai k...