#02 - Temu Kali Pertama

3K 576 102
                                    

Pukul 6 sore lewat 23 menit, harapan Cakra benar-benar kalah dalam pertaruhan.

Ayah pergi setelah 4 tahun berjuang dengan kanker yang dideritanya.

Dunia Cakra runtuh kala dokter mengumumkan jam kematian Ayah. Tangis para anggota keluarga lain tidak lagi sampai di telinga Cakra. Kepala dan dadanya penuh, namun Cakra tak pernah merasa sekosong saat itu. Bagaimana ia harus melanjutkan hidup tanpa Ayah? Bagaimana Cakra harus terbangun tiap pagi dengan kenyataan bahwa kini ia telah ditinggalkan sendirian? Bagaimana Cakra menjalani harinya tanpa pernah bisa melihat Ayah lagi?

Hari yang kian malam tidak menyurutkan orang-orang yang datang untuk berbelasungkawa. Kerabat-kerabat yang sudah datang sejak kondisi Ayah menurun membuat Ayah sudah bisa langsung dimakamkan besok siang. Raka, Bara, dan Sabda sama sekali tidak meninggalkan sisinya. Bahkan untuk pulang dan berganti baju pun, mereka bertiga melakukannya bergantian agar Cakra tidak perlu ditinggalkan sendirian.

Sabda yang mendapat giliran terakhir baru kembali ketika jarum jam mulai meninggalkan angka 9. Ia memarkirkan mobilnya di tengah lautan kendaraan orang-orang yang datang melayat. Ayah adalah seorang dosen di salah satu perguruan tinggi negeri yang juga aktif dalam banyak kegiatan-kegiatan amal. Sosok Ayah begitu dicintai. Oleh karenanya, malam ini begitu banyak orang yang datang untuk melihat sosoknya untuk yang terakhir kali, mengucapkan terima kasih atas semua kebaikan yang telah ia perbuat sepanjang hidupnya. Sabda juga adalah salah satu dari orang-orang itu.

Setiap kali Sabda datang dan Ayah sedang berada di rumah, beliau akan mengajaknya mengobrol sampai terkadang, Sabda akan menghabiskan waktu lebih banyak dengan Ayah daripada Cakra. Ayah bilang, Sabda adalah teman mengobrol favoritnya, yang selalu bikin Cakra memprotes kesal karena merasa jadi anak tiri setiap kali Ayah sudah bersama Sabda.

Sabda masuk ke dalam rumah duka. Sekilas ia bisa melihat Bara dan Raka yang sedang duduk bersama teman-teman kuliah mereka yang datang untuk berbelasungkawa pada Cakra yang justru tidak terlihat bersama mereka. Sabda melangkah menuju ke teras belakang rumah, tahu ia akan menemukan sosok Cakra di sana. Dan tebakannya tidak meleset sama sekali.

Dengan kemeja hitam yang memeluk tubuh tegapnya, Cakra sedang duduk di kursi teras belakang yang menghadap langsung ke kolam renang dengan dedaunan kering di permukaan airnya karena sudah lama tidak dibersihkan. Di rumah Cakra memang tidak ada asisten rumah tangga tetap, melainkan hanya datang saat dipanggil saja. Itu pun seringkali lupa untuk dilakukan, karena baik Cakra maupun Ayah sama-sama jarang berada di rumah. Apalagi semenjak Ayah jatuh sakit, Rumah hanyalah tempat persinggahan bagi Cakra karena ia lebih sering menghabiskan waktunya di Rumah Sakit dan Tempat Teduh.

Sabda duduk di kursi lain yang berbataskan meja kecil dengan kursi yang diduduki Cakra. Cakra tidak bereaksi apa-apa atas kedatangan Sabda. Ia masih duduk tenang, menatap ke depan dengan mata yang memerah. Cahaya lampu taman yang menyirami keduanya membuat Sabda bisa melihat selapis kaca yang siap pecah di matanya.

"Lo tau, dari tadi gue lagi mikir, apa setelah ini gue harus bersihin kolam itu atau enggak." Cakra bersuara. "Tapi bahkan perubahan kecil kayak gitu aja udah bikin gue takut, Sab. Gue takut nggak ada lagi hal yang sama seperti saat Ayah masih ada. Gue takut lama-kelamaan, gue nggak lagi bisa mengingat sosok Ayah di rumah ini. Gue takut melanjutkan hidup tanpa Ayah."

Cakra takut ia kehabisan cara untuk mengenang Ayah.

"Tapi satu hal yang bikin gue lega." Ada segurat senyum tipis di wajah Cakra. "Selama ini, gue berdoa supaya Ayah bisa sembuh. Dan doa gue dijawab. Ayah nggak bisa sembuh di sini, jadi gue tau dia harus pergi supaya bisa sembuh."

Sabda bukan sosok yang sentimental. Tak banyak hal yang bisa membuatnya tersentuh. Namun apa yang baru saja Cakra katakan berhasil menusuk hatinya. Mungkin karena sosok Ayah bukan hanya sekedar orang tua dari temannya bagi Sabda. Ayah adalah sosok yang ia hormati, dan kepergiannya akan meninggalkan segores luka di dadanya yang tidak akan pernah sembuh.

Rule #1: Don't Date Your Friend's Sister!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang