haiiii.
ayok tarik nafas yang panjang dulu sebelum membaca chapter iniii......
ready???
happy reading!!!
***
Ketika Sabda dan Jasmine berdiri bersebelahan di dalam lift yang sedang bergerak naik menuju lantai 20, ada atmosfer aneh yang mendadak menyelimuti keduanya. Dehem-deheman kikuk bergantian terdengar dari keduanya. Hening masih bertahan bahkan ketika Sabda dan Jasmine keluar dari lift dan berjalan menuju apartemen Sabda.
She missed this place. Jasmine baru menyadari bahwa ia merindukan berada di apartemen Sabda ketika ia menginjakkan kakinya untuk pertama kali setelah beberapa hari usai kepindahannya. Bukannya ia tidak senang kini sudah tinggal bersama kakaknya, namun 1 bulan tentu saja bukanlah waktu yang singkat. Jasmine telah terbiasa berada di sini. Terbiasa bangun karena alarm atau dibangunkan Sabda—lebih sering dibangunkan tentu saja—juga terbiasa pulang ke apartemen ini, duduk di depan televisi dengan kotak es krimnya sambil menunggu Sabda pulang.
Sabda masuk ke dalam kamarnya untuk berganti baju sebentar, lantas keluar tidak sampai 5 menit kemudian. Ada segaris senyum yang seketika hadir di wajahnya ketika melihat Jasmine yang sudah duduk di meja pantry sambil menghabiskan es krimnya. Sabda senang mengetahui gadis itu tidak merasa canggung sama sekali meskipun tidak lagi tinggal di sini.
"Duduk diem abisin es krim lo, biar gue yang masak."
"Gue juga nggak ada niat bantuin kok."
Sabda mendengus mendengar sahutan itu.
"Kemarin Sabira telepon gue, dia nanya gue pindah dari apartemen karena beneran pengen tinggal sama Cakra atau karena diusir sama lo."
"Lo jujur dan bilang opsi yang pertama."
Jasmine mengangkat alis. "Dari mana lo tau gue jujur?"
"Karena kalau lo pilih opsi kedua, nggak mungkin gue masih ada di sini."
Tentu saja tidak mungkin Sabda masih bisa bernafas dengan lega seperti ini kalau sampai Jasmine bilang pada Sabira kalau alasan kepindahan gadis itu adalah karena diusir olehnya.
Jasmine berdiri dari duduknya, meraih gelas di rak untuk mengambil minum, namun tidak langsung duduk kembali setelahnya. Ia bersandar di tepi meja pantry sambil memperhatikan Sabda yang tampaknya sudah hampir selesai.
"Lo nggak berencana untuk bilang yang sebenarnya sama Sabira? Apalagi papi dan mami udah ngira kita pacaran." Jasmine bertanya sambil memperhatikan punggung lebar Sabda yang membelakanginya. Pemandangan yang berhasil menyita seluruh perhatian Jasmine dengan mudahnya. "I mean, it's impossible for us to date. Jadi bakal lebih baik kalau we make things clear dari sekarang sebelum semuanya semakin jauh."
"And why is it impossible?"
Dari antara semua respon yang bisa Sabda berikan, Jasmine sama sekali tidak mengira jawaban semacam itulah yang akan pemuda itu pilih untuk berikan.
Jasmine mencoba tertawa untuk mencairkan suasana. Tawa yang justru terdengar sumbang dan kaku. "Because... it is? Lo nggak mungkin suka sama gue, dan gue juga nggak mungkin suka sama lo. You said it yourself i'm not your type, right?"
Sabda meletakkan pisaunya sebelum berbalik, menatap Jasmine tepat di mata. "And what if i tell you it has changed?"
Jasmine kehilangan kata. Kupu-kupu itu muncul lagi. Degup jantungnya mulai tidak beraturan, terutama ketika mata Sabda sama sekali tidak terlepas dari miliknya, seakan di detik ini, tidak ada hal lain yang perlu diperhatikan oleh pemuda itu selain dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rule #1: Don't Date Your Friend's Sister!
RomanceSabda, Raka, Cakra, dan Bara punya semacam rules tak tertulis di dalam pertemanan mereka yang dibuat akibat satu masalah yang pernah terjadi dulu: Jangan pacaran dengan saudara satu sama lain. Sejauh ini sih, peraturan tersebut bukanlah sesuatu yang...