Anga keluar dari ruangan pribadi Marva. Dia baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Kamar cowok itu seperti sarang babi, bahkan untuk ditinggali oleh manusia pun sepertinya tidak layak saking berantakkannya.
"Mareka udah mulai nyerang markas. Katanya Matteo nyari lo, Va!" ucap Langit.
"Biarin aja. Dia juga bakalan capek kelahi sama anak-anak. Di sana cuma ada 30 orang'kan?" tanya Marva yang di angguki Langit. "Bagus! Matteo nanti juga nyerah sendiri."
"Jadi kita gak bakalan balik nyerang dia?" tanya Gerri.
"Ngapain capek-capek ladenin dia?" sahut Shaka yang sedang sibuk dengan mesin motornya.
"Yahhh, padahal gue lagi pengen gelut euy!" desah Gerri.
Anga yang sama sekali tak mengerti hanya menyimak obrolan mereka dari ujung ruangan luas itu. Sepertinya obrolan mereka cukup serius jika sudah mengungkit nama Matteo. Siapapun tahu Matteo itu adalah musuh bebuyutan Marva.
Sekarang di ruangan yang lebih mirip aula itu tidak hanya ada mereka saja. Ada Igun, si kulit eksotis. Ada Januar, si muka tembok alias lempeng. Ada Tatang, si cowok asli sunda. Ada juga Regi, si hitam manis. Usia mereka semua sama 20 tahun, hanya selisih beberapa bulan. Tentunya Anga sudah kenalan dengan mereka semua. Dan mereka semua sekarang sedang sibuk bekerja.
"Eh, neng Anga. Mau minum?" tawar Regi dengan genit.
Anga tersenyum kaku. "Engga, bang!"
Marva, Langit dan Gerri menoleh mendengar suara mereka.
"Udah beres semua? Kenapa gak lama? Gue nyuruh lo beresinnya yang rapih!" ucap Marva ketus.
Anga melirik sinis. "Ya lo liat aja! Rapih kok. Gue bahkan rubah sarang babi jadi kamar manusia normal."
Shaka melirik sekilas sambil terkekeh dengan ucapan Anga. Langit dan Gerri pun sudah tergelak di tempatnya.
Marva jelas tak terima dengan perkataan cewek itu. "Karena lo udah hina kamar gue. Bawa pulang buku-buku gue ini, ini semua tugas gue yang harus lo kerjain di rumah!" tunjuknya pada tumpukan buku di atas meja.
Anga melotot tak percaya. "Lo gilak? Mana bisa gue ngerjain itu semua di rumah?"
"Bisalah. Orang ini sedikit!" Marva sudah lebih dulu mengambil buku itu lalu menyerahkannya pada Anga. Buku itu bukan satu atau dua, tapi banyak.
"Inget! Lo harus tulis lengkap catetan di buku gue," lanjutnya.
"Gue harus nyatet dari mana? Gue bahkan gak tau apa yang lo pelajarin!" oceh Anga.
"Kita satu jurusan. Samain aja sama catatan lo!"
Anga menghela napasnya pasrah sambil menyangga tumpukan buku. Harus sampai kapan dia seperti ini? Jikalau dia melawan, pasti kalungnya sudah hilang atau mungkin tak berbentuk lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARVANGA
Teen Fiction-highest rank- #1 in thriller 18-02-22 #1 in friendship 08-06-22 *** Berawal dari surat cinta yang harus Anga sampaikan dari temannya untuk Marva. Namun sayangnya, kesialan sedang nyaman dalam jiwa Anga. Dia terpaksa harus menjadi pacar Marva, si pl...