Sinar matahari pagi mengintip di sela-sela jendela yang tak sempat tertutupi gorden. Cahayanya menelisik masuk tanpa permisi dan membangunkan seseorang dari tidurnya. Matanya mengerjap pelan. ketika kesadarannya mulai terkumpul, rasa sakit dan pegal menjalari tubuhnya. Apalagi kepalanya, tentu saja terasa ketika dia bangkit dan terduduk di lantai.
Semalam dia pingsan, karena terlalu lelah, matanya terus terpejam tanpa sadar hingga pagi tiba. Jika saja tak ada sinar matahari, mungkin perempuan manis itu tidak akan bangun.
Meskipun tubuhnya lemas, Anga tetap memaksakan berdiri dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan seluruh tubuhnya. Dari semalam seragam itu masih melekat di tubuhnya. Sesekali dia meringis ketika memegang pelipisnya yang memar dan berdarah. Ayahnya cukup gila karena memukulnya dengan botol kaca.
Hidup sebagai Anga memang harus tahan banting. Bisa saja Anga pergi dari rumah ini, tapi dia akan tetap diam di tempat yang mirip kastil ini sampai ayahnya memanggil namanya dengan lembut. Sejujurnya itu yang paling Anga impikan. Menjadi seorang anak dari ayah yang hebat.
Namun, apakah bisa Anga mewujudkan hal itu? Ragu ketika ia mengingat perlakuan Surya selama ini kepadanya. Perlakuan Surya bukan'lah perlakuan yang wajar bagi seorang ayah pada anaknya. Alih-alih seperti itu, justru malah mirip dengan penyiksaan pada hewan peliharaan.
Setelah selesai membersihkan diri, Anga memakai seragam cadangan. Tidak mungkin jika dia harus memakai seragam tadi. Seragamnya sudah ternodai oleh darah.
Anga berdiri di depan cermin lebar. Ia memasang dasi sekolahnya, tak lupa dia menyisir rambutnya yang agak berantakan. Kemudian tangannya meraih kotak P3K untuk mengolesi dan menutupi luka di pelipisnya. Lukanya cukup tersembunyi karena terhalangi oleh poninya sendiri.
Jika tadi Anga memasang wajah datar, maka sekarang dia menarik tiap sudut bibirnya untuk tersenyum dengan ikhlas. Lewat cermin ini, dia bisa memberikan semangat pada dirinya secara langsung.
"Semangat, Nga. Luka di badan lo sama di pelipis lo bukan apa-apa. Entah sampai kapan lo hidup, pokoknya lo harus bisa menjalani hidup ini dengan ikhlas." Anga mengangguk mantap. Setelahnya, Anga memajukan wajahnya ke cermin, dia mengolesi bibirnya dengan lipbalm agar warna pucatnya sedikit tertutupi.
Sebelum keluar kamar, tak lupa Anga memakai arloji biru muda di tangan kirinya. Ya, arloji itu pemberian Lingga kemarin malam. Meskipun bel masuk sudah berbunyi setengah jam yang lalu, Anga tetap pergi ke sekolah. Jika dia terus di rumah, maka rasa sakitnya akan bertambah.
Anga berdiri di depan gerbang sekolah yang kini sudah tertutup rapat. Seorang satpam menghampirinya dengan kerutan di dahinya. "Astgafirullah, baru dateng jam segini, neng?"
Anga memperlihatkan cengiran khasnya. "Ehehe... Iya Pak. Boleh gak pintunya dibuka?"
"Ya gak bisa atuh. Bunyi bel udah satu jam yang lalu. Mendingan pulang dari pada dihukum."
KAMU SEDANG MEMBACA
MARVANGA
Novela Juvenil-highest rank- #1 in thriller 18-02-22 #1 in friendship 08-06-22 *** Berawal dari surat cinta yang harus Anga sampaikan dari temannya untuk Marva. Namun sayangnya, kesialan sedang nyaman dalam jiwa Anga. Dia terpaksa harus menjadi pacar Marva, si pl...