Cahaya mentari mulai masuk ke celah-celah jendela kaca yang tak tertutupi gorden. Ruangan yang didominasi putih-abu itu jadi terang karena matahari yang mulai meninggi.
Seorang cowok yang tengah tengkurap dengan rambut acak-acakan melenguh pelan. Matanya tetap terpejam walaupun sudah kena silau. Namun, detik selanjutnya ia mulai mengerjapkan matanya itu.
Ketika matanya terbuka sempurna, ia merasakan pening yang amat menggila di kepalanya. Apalagi ketika ia bangkit dan terduduk di atas ranjang, dunia serasa berputar sebentar.
Kesadaranya sudah terkumpul. Ia menoleh kesana kemari seperti orang linglung. Bahkan dia tidak ingat bagaimana ia bisa sampai di kamarnya sendiri setelah menegak banyak minuman beralkohol di club semalam.
"Arrrggghhh..." Ia mengerang sambil memegang kepalanya dan tertunduk.
"Bagus. Ternyata begini kelakuan kamu selama ini ya, Marva."
Marva berjengit kaget saat mendengar suara yang sangat familiar itu. Dia menoleh ke ambang pintu kamarnya, ternyata suara itu berasal dari Elvan- ayahnya yang tengah berdiri dengan tangan bersilang di dada.
"A-ayah?"
"Ayah sudah bilang. Jangan pernah kamu masuk ke tempat haram itu. Kamu bahkan minum minuman beralkohol. Apakah itu mencerminkan anak sekolah?"
Suara mengintimidasi itu begitu mencekam di pendengaran Marva. Jika sedang marah ayahnya akan lebih menyeramkan dari pada amukan ibunya.
Marva hanya meringis dan menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dia juga tak berani membalas perkataan ayahnya.
"Ayah sudah salah mendidik kamu. Mulai sekarang, jangan pernah tinggal lagi di bengkel. Pulang ke rumah setiap hari. Ayah akan menyuruh supir untuk antar jemput kamu ke sekolah. Semua kendaraan kamu Ayah sita. Jadi'lah anak yang baik. Jangan pernah mengecewakan Ayah lagi." Setelah menasihatinya, Elvan langsung keluar kamar. Nasihatnya hanya sedikit, tapi membuat Marva tak bisa berkutip.
Gawat. Marva tidak bisa meninggalkan bengkel apalagi membiarkan Blackers tanpanya. Seharusnya Marva tidak menuruti kemauan nafsunya untuk melampiaskan amarah. Bahkan ia tidak tahu siapa yang membawanya pulang.
Marva mengambil ponselnya di atas nakas. Ia mencoba untuk menghubungi Shaka.
"Hallo?"
"Va? Lo gak ke sekolah? Udah siang ini, bego!"
Marva melirik jam dindingnya. Jika berangkat ke sekolah pun untuk apa? Jarum jam sudah menunjukkan angka sembilan. Marva menghela napas kasar. "Semalem yang bawa gue pulang siapa?"
"Gak tau. Waktu di club lo tiba-tiba ilang. Pas gue telepon yang angkat telepon lo si Anga. Ngapain lo bareng Anga malem-malem?"
Marva tak menyahut, fikirannya sekarang berkecamuk. Dia juga tidak tahu untuk apa dirinya menemui Anga? Sial, kenapa sekarang dia jadi bingung sendiri? Ia bahkan tidak ingat apa yang terjadi semalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARVANGA
Fiksi Remaja-highest rank- #1 in thriller 18-02-22 #1 in friendship 08-06-22 *** Berawal dari surat cinta yang harus Anga sampaikan dari temannya untuk Marva. Namun sayangnya, kesialan sedang nyaman dalam jiwa Anga. Dia terpaksa harus menjadi pacar Marva, si pl...