Tak menyangka. Itu yang Anga rasakan sekarang. Kejadian yang ia alami begitu singkat. Terlempar ke dalam air lalu seseorang menolongnya tanpa terlambat. Orang yang rela tubuhnya basah itu adalah Matteo.
"Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Anga tersedak oleh air yang sempat masuk melewati mulut dan hidungnya.
Kini Anga terduduk di samping kolam dengan sekujur tubuhnya yang basah. Sementara itu, Matteo berlutut di sampingnya dengan kecemasan. Ia memegang bahu Anga. "Lo gak papa'kan?"
Anga mengangguk dengan lemah. Matanya beralih kearah lain dan jatuh pada iris mata yang hitam legam. Anga sempat berharap yang menolongnya adalah Marva- si pemilik iris mata itu.
Semua orang di sana memandangnya dengan aneh. Terutama Arrabelle, sorot kemarahan terlihat jelas dari matanya. Memangnya siapa yang tidak marah? Orang yang tak diundang tiba-tiba mengacaukan pesta itu.
Anga seperti menelan sesuatu yang pahit karena Marva mematahkan harapannya. Alih-alih menghampirinya, cowok itu malah memalingkan wajahnya kearah lain. Saat itu juga Anga menyesali semuanya, termasuk menuruti perintah Marva tanpa tahu cowok itu akan membawanya kemana.
Dengan lemah Anga bangkit, ia sedikit menerima bantuan dari Matteo. Ia menunduk dan melihat sebelah kakinya yang sudah telanjang, sebelum akhirnya Anga melirik Matteo. "Makasih udah nolong gue."
Matteo mengangguk. "Mau gue antar pulang?" tawarnya.
"Gak perlu. Gue bisa pulang sendiri." Anga menolak ajakan Matteo sambil menepis air yang bersarang di tas slempangnya.
Anga keluar dari area pesta dengan langkah pincang karena sepatu berhak-nya hilang satu, sebelum itu ia melirik dulu pada seluruh tamu undangan. Malu? Tentu saja. Anga sangat malu sampai ingin menenggelamkan kembali tubuhnya ke dalam air.
Banyak cetusan dari para tamu undangan yang tak mengenakan. Anga tak mempersalahkan hal itu, yang mengganggu fikirannya sekarang adalah, kenapa Marva tak menghampirinya? Ucapan cowok itu saat di dalam mobil tadi begitu meyakinkan, seakan-akan Anga aman bersamanya, tapi ketika ia terjatuh Marva tak menolongnya sama sekali.
Yap, kenyataan pahit memang selalu datang setelah berharap. Lantas, perlu'kah Anga meneruskan harapan itu atau kembali ke awal, memendam rasa suka tanpa pengharapan?
Di sisi lain, Marva melihat kepergian Anga, ia hendak mengejarnya. Namun, sebuah tangan tiba-tiba mencekal lengannya. Marva menoleh, ternyata Nala-Ibunya.
"Bunda?"
Wajah Nala tak berekspresi. "Mau kemana?"
"Marva mau-"
"Ikut Bunda!" Nala menarik anaknya ke tempat yang agak sepi. Setelah tiba di sebuah tempat yang jauh dari para tamu, baru'lah Nala melepaskan cekalan tangan pada lengan Marva.
"Kenapa Bunda tiba-tiba bawa Marva kesini?" Marva sempat menoleh kesana kemari, terlihat dari wajahnya bahwa ia tengah dilanda gelisah. Ia tak tenang karena Anga pergi sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARVANGA
Ficção Adolescente-highest rank- #1 in thriller 18-02-22 #1 in friendship 08-06-22 *** Berawal dari surat cinta yang harus Anga sampaikan dari temannya untuk Marva. Namun sayangnya, kesialan sedang nyaman dalam jiwa Anga. Dia terpaksa harus menjadi pacar Marva, si pl...