Hari Kesepuluh ' Marahnya Taya'

2.2K 335 35
                                    

Taya sepertinya benar-benar marah dengan ayahnya. Buktinya bocah gembul itu tak bergeming sama sekali ketika diajak bicara oleh ayahnya.

Kemarahan Taya terasa wajar, ia diangkut paksa oleh ayahnya untuk pulang. Mereka tidak jadi ikut taraweh bersama, dan Taya tidak jadi menunjukkan sepatu barunya kepada teman-temannya.

Alasan sebenarnya bukan karena tidak jadi taraweh, namun karena Taya tidak dapat bertemu dengan teman-temannya untuk memamerkan sepatu barunya.

" Kok nggak nyahut waktu Ayah tanya Bang?"

Sisa tangisan Taya masih terlihat diwajahnya, matanya masih memerah dengan beberapa aliran lelehan air mata yang tersisa. Baheera ingin menyeka dan membersihkannya, namun bocah gembul itu masih marah dan tak ingin disentuh orangtuanya.

" Mama tahu kok kalau keinginan kita tidak dipenuhi pasti rasanya sedih. Abang sedih yah diajak pulang sama Ayah dan nggak jadi sholat di masjid?"

Taya melirik Ayahnya pelan, masih tak bersuara.

Benar-benar marah sepertinya.

Lucu sekali sebenarnya, Baheera dan Byakta rasanya gemas dengan kelakuan putarnya mereka. Tapi tak mungkin menertawakan Taya didepannya, yang ada bocah gembul itu akan semakin marah dan kesal.

" Karena Abang belum mau ngomong sama Mama sama Ayah. Nggak apa-apa kok, kan Abang masih sedih. Mama sama Ayah tungguin Abang sampai selesai sedihnya. Nggak boleh lama yah. Mama kasih waktu 20 menit saja."

Baheera melirik suaminya memberi kode, gemas sekali mereka dengan putranya mereka itu. Posisi Taya yang duduk dipojokan kaki sofa ruang keluarga terlihat menggemaskan sekali, mana sepatunya tidak mau dilepas sama sekali.

Belum lagi baju koko dan celana sarung yang masih terpakai, belum mau diganti.

Setelah lebih dari 20 menit Baheera dan Byakta membiarkan putra mereka merajuk, akhirnya Baheera turun tangan.

" Minum susu mau? Ini Mama ambilin susu buat Abang."

Setelah lelah merajuk akhirnya Taya menerima pemberian mamanya, masih melirik sebal kearah ayahnya. Wajahnya ditekuk cemberut.

" Capek yah, kan Abang habis nangis." Hibur Baheera menghapus sisa air mata putranya dengan sayang.

Taya menganggung imut. Masih belum mau beruasa.

" Buka sepatunya dulu yuk, panas kaki Abang. Mama sama Ayah mau ngomong sama Abang. Mau yah dengarin?" bujuk Baheera.

Ada sedikit perasaan enggan yang Taya tunjukkan, namun bocah gembul itu tak punya pilihan selain menurut. Sebab Taya tahu, orangtuanya tidak akan memenuhi semua keinginannya.

Tapi Taya sayang kok ayah sama mama.

" Abang marah sama Ayah?"

Baheera membawa putranya kedalam pelukan, biasanya cara seperti ini berhasil untuk menenangkan putranya setelah merasa marah atau sedih.

" Mama tanya, tadi kenapa nggak mau buka sepatu? Ayah minta Abang buat buka sepatu kan waktu masuk masjid?" tanya Baheera lembut.

" Mau masuk sama sepatu." Cicitnya kecil, suaranya teredam pelukan mamanya.

Anak koala.

" Kenapa mau pake di dalam masjid? Abang mau sholat kan?"

" Huum..."

" Kenapa mau pake di dalam masjid?" ulang Baheera lagi.

" Kasih lihat Iyan sepatu balu Taya. Kemalin Iyan bilang ada jam balu." Ceritanya pelan.

" Abang mau kasih lihat Iyan yah sepatu barunya? Nggak apa-apa kok. Boleh, kan Iyan juga kasih unjuk jam barunya sama Taya."

Taya mengangguk semangat.

" Tapi Abang harus tahu nak, kalau masuk dalam masjid itu nggak boleh pakai sepatu. Soalnya kotor, kan sepatunya Abang pake dari rumah sampe masjid."

" Mau kasih lihat Iyan."

" Abang bisa ajak Iyan ke tempat simpan sepatu, kasih lihat Iyan deh."

" Ndak boleh?"

" Nggak boleh, kalau masuk masjid sepatu, sandal, atau alas kaki lainnya harus lepas biar bersih."

Hello NatayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang