Hari Keduapuluh Tiga ' Bermain Petasan Bersama Taya'

1.9K 311 8
                                    

Suara petasan menggema di kediaman nenek kakeknya Taya. Terdengar ganjil dibunyikan ketika pagi hari seperti ini.

" Abang, bantingnya jangan dikaki kamu. Lemparnya agak jauh yah."

Byakta memberikan contoh bagaimana cara memainkan petasan banting yang mereka beli di warung ujung rumah sepulang sholat shubuh di masjid tadi.

Entah ide dari mana Byakta membelikan putranya itu petasan, dan sekarang dia mengajarkan bagaimana cara memainkannya dengan baik dan benar.

TUK..

TUK..

Suaranya sih tidak seperti suara petasan yanh harus dibakar itu. Namun tetap saja ide membelikan putranya petasa seperti itu akan terdengar ganjil bagi Baheera, sang mama.

" Wahhh, tuk tuk telus. Umm kalo lempal banyak banyak nanti bunyi tuk tuk banyak juga?" Taya dengan idenya, oke sekali.

Konsep bermainnya itu dibanting satu persatu. Bukan dibanting semua sekaligus.

" Bantingnya satu-satu yah. Kalau banting semua nanti ada yang nggak bunyi." larang Byakta cepat sebelum Taya meraup semua dan membantingnya.

" Ndak boleh semua?"

Taya kan penasaran, nanti suaranya akan seramai apa.

" Kalau semua nanti ada yang nggak bunyi." jelas Byakta melarangnya secara tersirat.

Sejujurnya, Byakta sendiri tak tahu apakah petasan itu akan bunyi semua atau tidak jika dibanting secara bersamaan. Byakta belum pernah mencoba.

Dulu waktu kecil, pikirnya dibanting satu-satu saja agar tak cepat habis. Soalnya takut dimarahi karena menggunakan uang jajan untuk membeli petasan.

" Ayah lihat, ini ada white.." tunjuknya senang. Lalu muncul bunyi TUK ketika petasan itu dibanting oleh Taya.

TUK... TUK..

TUK... TUK...

TUK... TUK...

Suara petasan silih berganti, Taya dan Ayahnya benar-benar serius memainnya di halaman depan rumah. Untung saja ada lahan kosong yang sedikit luas depan garasi. Jadi mereka tidak takut untuk melakukannya.

" Ayah ini banting nih. Wah... bunyi selu." Taya memekik senang, permainan yang baru saja ia temukan membuatnya bersemangat.

" Ayah beli lagi ndak nanti?" tanyanya ingin tahu.

" Nggak. Kan sudah beli tadi."

" Kenapa?"

" Kenapa apanya?" bingung Byakta.

Terkadang kosa-kata Taya yang pendek membuatnya kesulitan memahami maksud putranya itu. Kalau mamanya sih pasti paham. Entah mereka melakukan telepati atau tidak. Yang jelas bounding ibu dan anak itu sangat erat.

Wajar saja karena Taya banyak menghabiskan waktu bersama mamanya.

" Beli lagi Ayah..." jawabnya gemas. Huh kok ayahnya tanya terus.

TUK...

TUK..

" Belinya sekali saja. Kan kita lagi main sekarang Bang. Sekali saja."

Tangan mereka masih saja aktif membanting petasannya dengan semangat. Isi sekotak kecil itu lumayan banyak juga yah, perasaan tidak habis-habis. Padahal mereka sudah memainkannya dari tadi.

" Beli banyak banyak lah Ayah. Main petasan nanti di lumah juga." protesnya tak setuju.

" Ayah takut dimarahi Mama." Alibi Byakta, tak mau menuruti keinginan putranya itu.

" Jangan bilang Mama dong." pintanya lagi.

" Mana boleh nggak bilang sama Mama."

TUK..

TUK..

Sepertinya Taya dan ayahnya akan segera menghabiskan petasan yang sudah mereka beli tadi.

" Nanti ini habis Ayah.." protesnya lagi, masih meminta ayahnya untuk membelikannya petasan lagi.

Taya merasa senang karena baru pertama kali bermain petasan, dan ingin membelinya lagi.

" Habis ini main sepeda yuk." Byakta mengalihkan keinginan putranya, soalnya Taya terkadang masih kurang fokus.

" Keliling jauh?" tanyanya berminat.

" Iya, nanti sama Kasan sama Ayah. Jauh deh." 

" Habis main ini yah."

" Iya, habis ini rapi-rapi dulu baru siap-siap yah."


Hello NatayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang