Rembulan bersinar menampakkan cahayanya malu-malu. Angin berhembus tenang menerpa wajah wanita itu. Ia menadahkan pandangannya ke angkasa seolah langit mengerti dengan isian batin yang ingin sekali ia curahkan. Dia menghabiskan malam diatas balkon sendirian selepas ikatan yang membuatnya tak lara untuk kembali terlelap. Rasanya dunia ini seperti mempermainkan jalan hidup yang sedang dia perjuangkan.
"Erwin..." Lirihnya memandang seekor burung gagak yang mengudara dari dahan pohon.
Siapa yang tahu? Takdir seperti lambang ketidakterhinggaan. Semuanya berjalan berulang dan akan berakhir sama jika ikatan takdir itu bertaut sangat kuat. Seperti apa yang diucapkan Erwin kepada Levi, dia percaya semua yang terlahir akan pulang seperti kehidupan sebelumnya. Sama seperti Erwin, Marie menginginkan separuh hati pria pirang itu untuknya, saling mencintai, memiliki keturunan dan menua bersama. Semua itu ingin dia lakukan meski belum sempat menyelam lebih dalam tentang sosok pria yang mampu memikat hatinya.
Batinnya merancau, merintih, menyesali apa yang dia lihat malam itu. Seperti mimpi buruk yang membuatnya tak sadar untuk segera terbangun. Kedua pria itu benar-benar melakukannya. Kedua bibir saling bertautan, mencium pria yang sempat menjadi pujangga yang memenuhi isi sanubarinya.
"Tidak! Aku pikir... Oh Erwin... Maafkan aku. Seharusnya aku tak mengikuti kalian... Ini menyakitkan..." Desis Marie memaki dirinya sendiri. Semua sudah berakhir nestapa, bagaimana bisa dia menyalahi wasiat ayah Nile? Dia tak mungkin harus menikah dengan pria yang sama sekali tak ia cintai sebelumnya. Siluet Erwin selalu membayangi seluruh isi kepalanya. Pria itu tak benar-benar menepi, bahkan menghilang dari lamunannya.
Satu hal yang belum dia coba, akankah dia berhasil melanggar wasiat itu dan pergi bersama Erwin?
🌻🌻🌻🌻
Pukul tiga pagi, Erwin benar-benar tak bisa memejamkan matanya meski untuk sejenak. Fikirannya yang alot kembali mengingat tingkah Levi yang sangat membuatnya jengkel. Si pirang ini sadar jika tindakan Levi benar-benar membuatnya kacau. Bagaimana ia bisa menjelaskan kepada Nile dan Marie soal pernyataan Levi?
"Hooi! Kau belum tidur Erwin? Apa kau masih kesal padaku?!" Levi bersidekap di balik pintu kamar Erwin, memperhatikan gemerisik kakinya dalam selimut yang mungkin tak membuatnya nyaman.
Levi menggeleng kemudian mendekati tubuh besar yang terbaring di atas kasur king size.
"Kau pikir aku menikmati ciuman itu? Aku terpaksa melakukannya. Sialan! Dia membuntuti kita. Aku melakukannya karena aku tak tahan mendengar ceritamu yang sangat menyedihkan itu! Sampai kapan kau sadar Erwin?!" Cetusnya kesal.
Erwin masih membuka maniknya, membelakangi tubuh pria pendek itu seraya memejamkan matanya meski tak mengantuk.
"Aku tau Levi, aku tak bisa menyalahi sikapnya yang ramah padaku. Aku terlalu terbawa perasaan padanya... Terimakasih kau sudah membantuku hari ini." Keluh Erwin sambil menyucuk-nyucuk ujung bantal.
Levi yang masih tak terima dengan kesedihan Erwin membalikkan tubuhnya lalu menamparnya keras-keras. Batinnya tak bisa menerima nestapa yang dia rasakan. Terlebih Erwin ini adalah manusia kedua setelah ibunya yang benar-benar menganggap Levi seperti keluarga dimatanya. Tak hayal jika Levi sangat menghormati bahkan tak segan rela mati untuk tuannya ini.
"Apa-apaan kau ini?!" Protes Erwin.
"Kalau kau tak suka, kenapa kau tidak menolak ciumanku?! Kau malah menikmatinya, sialan!" Tak bisa dipungkiri, Erwin secara sadar tidak sadar memang membalas ciumannya. Ia seperti terpengaruh oleh emosionalnya yang memuncak. Menyalurkan semua hasratnya yang tertinggal disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
SNK : New Life Afterward
Fanfiction"Kehidupan baru saja di mulai, Erwin. Lakukan apa yang kau suka. Lakukan apapun yang belum pernah kau lakukan." Ucap Levi sembari meneguk tehnya. "Apapun? Hal yang membuatku cukup sedih adalah, tidak semua orang mengingat masalalu itu seperti kita."...