JENO, Haechan dan Ten kini berada di sebuah rumah makan terdekat. Hanya sebuah rumah makan sederhana, Haechan ingin membicarakan sesuatu pada mae nya. Ia melirik ke arah Jeno untuk memberikan kode agar Jeno terlebih dahulu pergi dari mereka berdua. Karena mengerti, Jeno akhirnya keluar dan menunggu di luar saja dengan membawa segelas kopi bersamanya.
"Haechan-na, bukankah dia salah satu anak dari keluarga Jung? Kau bersamanya kemari?" tanya Ten pada Haechan saat melihat Jeno yang sudah mendudukkan dirinya di bangku luar.
Haechan mengangguk.
"Ya mae, tapi tenanglah. Dia baik, dia banyak membantuku saat di rumah keluarga Jung." jawabnya dengan menggenggam telapak tangan Ten yang terasa dingin, dielusnya sedikit untuk menghilangkan rasa khawatir yang kini dirasakan mae nya. Dia dapat melihat itu dari guratan wajah mae nya.
"Apa kau baik-baik saja di sana sayang? Maafkan mae tidak bisa menolongmu waktu itu." Ten menarik salah satu tangannya, diusapnya sudut matanya yang terasa berair. Ia tidak akan tahan jika itu menyangkut anak semata wayangnya. "Apa cucuku baik-baik saja di dalam sana?" lanjutnya melihat ke arah perut Haechan.
"Tentu saja baik nek." jawab Haechan mencoba menggoda, dan itu berhasil membuat senyuman kecil terukir di bibir mae nya. "Mae, ada satu hal yang ingin aku bicarakan."
Ten mengalihkan pandangannya mengarah ke Haechan.
"Apa itu sayang?"
"Aku sudah menikah mae."
DEG
Senyuman yang terukir di bibir Ten seketika luntur saat mendengar penuturan dari Haechan. Anaknya sudah menikah? Dengan siapa? Bahkan Ten baru saja mendengar kabar ini.
"Sungguh? Dengan siapa? Dia?" tunjuknya pada Jeno yang berada di luar.
Haechan menggeleng.
"Bukan, tapi dengan hyung nya. Ayah dari anakku mae. Dengan sukarela dia ingin bertanggung jawab dan menikahiku." dusta Haechan pada mae nya sendiri.
"Lalu? Kenapa kau tidak memberitahu mae Haechan. Mae bisa saja datang dan menghadiri acara pernikahanmu."
Haechan menunduk dalam, benar dugaannya. Jika ia berhasil menghubungi mae nya. Maka mae nya pasti akan datang. Harusnya.
"Aku sudah menghubungi mae waktu itu bahkan sebelum hari pernikahanku. Tapi, nomor mae dan ayah tidak bisa dihubungi. Apa mae mengganti nomor? Lalu kenapa rumah kita terlihat sangat kosong." Haechan menatap ke arah mae nya penuh harap meminta penjelasan.
Ten berdiri dari duduknya, ia pindah ke samping tempat duduk Haechan dan langsung memeluk anaknya membuat Haechan langsung menangis, ia tidak peduli dengan beberapa orang yang kini melihat ke arah mereka.
"Jadi hari itu? Maafkan mae Haechan. Mae benar-benar minta maaf." Ten mengeratkan pelukannya. "Sebenarnya, mae dan ayahmu sudah pindah dari rumah lama kita. Ayahmu sedang dililit hutang Chanie. Kami berdua sedang dikejar rentenir." Ten melepaskan pelukannya kemudian menggenggam kedua tangan Haechan yang berada di atas pahanya.
"Sejak kapan? Kenapa ayah terlilit banyak hutang? Kenapa mae tidak memberitahuku? Mae perlu berapa? Akan aku ambilkan tabunganku." Haechan sudah hendak berdiri dan ingin pergi ke mesin ATM namun ditahannya oleh Ten.
"Jangan! Biar masalah ini mae yang pikirkan, Haechan-na, itu hasil kerja kerasmu. Kau tidak perlu membantu mae. Jika kau memberikan uang pada mae dan ayahmu. Ayahmu pasti akan terus-menerus memintai uang padamu nanti. Lebih baik kau simpan, hiduplah dengan bahagia bersama suamimu, mertua dan adik iparmu." ucap Ten menepuk pelan tangan Haechan.
![](https://img.wattpad.com/cover/263644619-288-k160568.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[06][pt. 1] Beautiful Pain
Fanfiction[COMPLETED] [Mpreg] [Sad Romance] Mengisahkan tentang perjuangan Haechan dan janin yang berada di dalam kandungannya. Dimohon Jangan salpak ⚠️⚠️ Bxb⚠️⚠️