sembilan.

94 14 3
                                    

Membandingkan adalah cara berpikir manusia yang paling rasional untuk membedakan mana sesuatu yang baik dan yang buruk, suka atau tidak, sesuatu seperti ini akan selalu terjadi sekalipun tanpa kita sadari.

Sebenarnya, membandingkan satu hal dengan yang lain juga merupakan insting dasar sifat manusia. Begitu juga dengan orang tua yang sering membandingkan anaknya dengan orang lain. Bisa jadi bertujuan supaya anaknya mempunyai suatu contoh untuk bisa ditiru dan akan membawanya berubah dan termotivasi untuk menjadi lebih baik.

Tapi, sebagian anak tidak menganggapnya begitu. Mereka cenderung merasa tidak nyaman, marah, dan malah sama sekali tidak terpacu untuk mencontoh orang yang dibandingkan dengan dirinya tersebut.

Meskipun membanding-bandingkan ini adalah sesuatu yang normal, tapi dampak yang dirasakan si anak akan menjadi seseorang yang tidak percaya dengan kemampuan diri, serta akan iri hati dan cemburu dengan orang lain.

Hal ini tak jarang juga dirasakan oleh Nesa. Bapak selalu membandingkan nya dengan sepupu perempuannya. Nesa mencoba untuk mengerti perihal banding-membandingkan, nyatanya ia tetap tidak terima akan hal itu--bukan membuatnya merasa terpacu untuk jadi lebih baik, malah justru membuatnya benci dan terlalu larut dalam rasa tidak percaya diri.

"Teh Nesa gimana kuliahnya?" tanya Pakde Dharma-- Kakak Ipar Bapak, saat ia dan keluarganya berkunjung kerumah Nesa belum lama ini. Membawa istri dan juga putri semata wayangnya.

Nesa nampak memaksakan senyum, "ya gini-gini aja Pakde, tugas terus" jawabnya sambil menampilkan deretan gigi putihnya.

Pakde Dharma terkekeh, "ya seperti itu memang kalo sudah kuliah. Kemarin Alhamdulillah Nina baru saja keterima di FKG."

Nesa diam, tidak ada guratan senyum dari bibirnya, dalam hatinya berucap, "sumpah gue gak nanya".

"Wah keren, calon orang sukses."

Bukan, itu bukan Nesa yang menjawab--melainkan Bapak. "Tuh, Teh. Contoh Nina, dia belajarnya giat bisa masuk FKG."

Nesa makin diam, ia sangat tidak peduli dengan apa yang Bapak katakan. Namun rasanya, ada sesuatu yang membuat dirinya hancur saat itu juga. Bagaimana Bapak bisa membandingkan anaknya dengan orang lain, serta memuji orang lain didepan anaknya. Sementara Nesa mati-matian memberi yang terbaik untuk dirinya. Rasanya Bapak tidak pernah sama sekali mengapresiasinya. Walaupun memang tidak banyak prestasi yang Nesa torehkan secara nyata, namun agaknya ia hanya ingin dihargai oleh orang tuanya sendiri.

Meskipun ia sama sekali tidak peduli, nyatanya ia pernah membenci Nina setengah mati. Bukan karena iri hati, melainkan ada sesuatu dalam diri Nina yang membuatnya merasa kecil saat berada dihadapan Bapak.

Nesa mungkin tidak bisa masuk FKG, tapi apa mungkin dia tidak akan bisa menjadi sukses? Itu yang selalu Nesa renungkan dari kata-kata Bapak. Nesa tidak akan ambil pusing jika kata-kata itu dikeluarkan dari mulut orang lain, tapi ini dari mulut Bapak, walaupun sedikit, bekasnya terasa.

Tak berapa saat kemudian, tanpa basa-basi, Nesa pergi menuju kamarnya--meninggalkan semua yang masih berada diruang tamu.

Nina baik, dia bahkan tidak banyak bicara dan cenderung pendiam, dia memang pintar, dia juga tidak sombong. Tapi, orang sekitar yang terlalu membanggakan dirinya, membuat sepupu-sepupunya yang lain segan untuk mengakrabkan diri--merasa takut dibandingkan.

Pintu kamar Nesa terbuka dari luar, menampilkan sosok Hesa yang sedari tadi memperhatikannya. "Teh, are you okay?" ucap Hesa yang masih setia berdiri diambang pintu.

Nesa tidak menjawab dan tidak juga menoleh, ia sedang berusaha menahan tangisnya. Gadis itu duduk dimeja belajarnya--lebih tepatnya saat ini tengah memunggungi Hesa.

ZONA ASTARAJINGGA || HAECHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang