dua puluh tujuh.

55 8 0
                                    

Hesa mengusak rambutnya kasar saat ia melangkahkan kakinya masuk kedalam rumahnya. Ada perasaan getir didalam dadanya, saat ia melihat sekeliling, sunyi, redup, dan dingin.

Perasaan seperti ini selalu menghampirinya, merasa gagal menpertahankan suasana rumah yang tenang dan menyenangkan. Pikiran Hesa jauh menerawang kebelakang saat ia memperhatikan sofa ruang keluarganya, mengingat kisah hangat dan ceria yang terukir indah disana. Memaksa memori otaknya untuk memutar kembali setiap kenangan yang terjalin bersama Mama.

Ia tak melihat keberadaan Bapak, namun ia meyakini bahwa beliau masih setia berada dikamarnya. Saat Hesa membuka pintu kamar Nesa, ia tak menjumpai gadis itu. Bohong jika Hesa tidak merasa cemas, jelas ia sangat mengkhawatirkan Kakaknya. Selama ini, Nesa tidak pernah meninggalkan rumah sampai selarut ini. Bahkan gadis itu yang selalu menyuruh Hesa untuk sudah berada didalam rumah sebelum jam 12 malam.

Hesa mendengar knop pintu kamar Bapak terbuka, membuat Hesa tercekat dan sedikit bingung. Jujur, saat ini ia sedang tidak ingin membangun interaksi dengan Bapak.

"Teteh mana?" mimik wajah Bapak sama sekali tidak memperlihatkan bahwa ia benar-benar mengkhawatirkan anak sulungnya.

Hesa menaikkan bahunya acuh, dan sengaja tidak mengeluarkan suara untuk menjawab pertanyaan lelaki paruhbaya itu.

Bapak mendengus, melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 1 dini hari, "telepon Tetehmu, suruh dia pulang sekarang!" Perintahnya.

"Bukannya tadi Bapak yang nyuruh kita semua buat pergi? Kok sekarang malah disuruh pulang?" Kata Hesa sambil melangkahkan kakinya kearah Bapak.

Bapak maju beberapa langkah, "kamu sudah berani ya, Mas, melawan Bapak"

Kedua matanya menyalang, menatap mata Bapak yang sepertinya sudah kalut dalam emosinya, "Bapak sendiri yang buat Mas jadi berani sama Bapak!"

PLAKKK!!!

Telapak tangan Bapak berhasil mendarat tepat mengenai pipi sebelah kanan milik anak bungsunya, menciptakan bekas merah yang jelas disana.

Hesa meringis, matanya berair, dan sekujur pipinya terasa panas namun lelaki itu tampak menyeringai, seperti meremehkan tamparan yang Bapak berikan. Hesa berusaha mati-matian menahan emosinya agar tidak menyerang Bapak, yang sedari tadi sudah ia kumpulkan melalui kepalan tangannya. Ia merasa sangat marah dengan sikap Bapak, ia muak akan semua hal yang Bapak lakukan.

"Pak, makasih..." Ucap Hesa sambil mengelus pipinya, "dengan cara kayak gini Mas jadi tau kalo Bapak udah gak butuh Mas lagi..." Kemudian ia menjatuhkan diri untuk bertekuk lutut dihadapan Bapak, kepalanya tertunduk, tubuhnya bertumpu pada kedua tangannya yang ia letakkan dilantai.

Bapak sama sekali tak menggubris apa yang Hesa lakukan, ia hanya mundur beberapa langkah menjauhi tubuh putranya--membuat Hesa seketika berdiri, menyeka air yang keluar dari matanya, kemudian pergi meninggalkan Bapak yang masih terdiam. Entah sedang menyesali perbuatannya, atau malah senang membuat anak-anaknya pergi dari rumah.

Si Bombom terhenti tepat disisi jalan disebuah flyover, kemudian Hesa merogoh ponselnya dengan grasak-grusuk. Ia mencoba menghubungi nomor Nesa beberapa kali, namun tak mendapat jawaban dari si pemilik--membuat rasa cemas Hesa semakin memuncak.

Merasa kesal dengan dirinya sendiri, ia memukul si Bombom sembarang lalu mengusak rambutnya frustasi. Hesa menyesal, mengapa ia terlalu sensitif menanggapi Nesa yang bahkan sangat pelan berbicara kepadanya. Ia terus-terusan meruntuki kejadian itu. Dan seketika terlintas dipikirannya sebuah nama yang sepertinya akan memberi jawaban dimana Nesa berada saat ini.

Hesa tahu bahwa Kakaknya tidak memiliki sahabat perempuan, gadis itu hanya memiliki Taraka dan Dio dihidupnya yang ia labeli sebagai seorang sahabat. Bukan bermaksud apa-apa, namun rasanya gadis itu memang belum menemukan seorang sahabat perempuan yang cocok dengan dirinya.

ZONA ASTARAJINGGA || HAECHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang