tiga puluh delapan.

56 10 0
                                    

Ada beberapa hal didunia ini yang sangat Nesa hindari, salah satunya adalah jatuh sakit. Menurutnya, sakit adalah sesuatu yang membuat dirinya menjadi lemah tak berdaya sekaligus tidak bisa berbuat apa-apa.

Disamping itu semua, ketika sakit Nesa benar-benar baru merasakan kesepiannya--bagaimana ia menahan sakit seorang diri, berharap Mama disana untuk mengurusi dirinya yang lemah, berharap Mama disana untuk membawakannya beberapa obat serta bubur yang sengaja beliau buat untuk Nesa. Namun, harapan hanya sekedar harapan. Pada kenyataannya, Nesa harus menangani rasa sakitnya sendiri.

Nesa terbaring lemas dikasurnya, berselimutkan sarung kesayangan dan juga bedcover tebal miliknya--serta kaos kaki bermotifkan awan juga menyelimuti telapak kakinya yang dingin.

Sebenarnya siang ini cukup cerah, dan matahari bersinar tepat diatas kepala. Namun, itu tidak membuat Nesa menyibakkan selimutnya, gadis itu malah mengeratkannya karena badannya terasa menggigil akibat demam.

Hesa masuk dengan membawa secangkir teh hangat yang sengaja ia buat, kemudian menghampiri Kakaknya yang tampak memejamkan kedua matanya yang perih sebab menahan rasa pusing dikepalanya.

Tangan Hesa terulur kemudian meletakkan punggung tangannya didahi milik Nesa, mengecek suhu tubuh Kakaknya, "Teh, ke dokter, yuk!" Ajak Hesa.

Nesa menggeleng tanpa membuka matanya.

"Lo demam ..."

Nesa mengerang, sekujur tubuh dan juga sendi nya ngilu bukan main, "gapapa, nanti juga sembuh." Tolak gadis itu.

Hesa memijat-mijat kepala Nesa--bermaksud mengurangi rasa pusing yang menjalar.

Knop pintu terbuka, menampilkan sosok Bapak yang memperhatikan keduanya dari ambang pintu kamar anak sulungnya.

"Kenapa, Teh?" tanyanya datar.

"Demam, Pak."

Bukan, itu bukan Nesa yang menjawab melainkan Adiknya.

Bapak berjalan beberapa langkah mendekati anak-anaknya, kemudian memperhatikan wajah pucat Nesa dengan kedua matanya yang terpejam--sekaligus melihat bulir-bulir keringat yang terus keluar dari dahi gadis itu.

"Telepon Jeffrey sana, minta anter ke dokter!" Celetuk Bapak yang membuat Hesa menautkan alisnya tanda heran, dan seketika membuat Nesa membuka kedua matanya.

"Jeffrey?" Kata Nesa sangsi. "Kenapa jadi ke Jeffrey?"

"Kan kamu apa-apa sama dia ..."

Nesa tak habis pikir dengan kalimat yang Bapak lontarkan barusan. Bagaimana bisa?

Ia bahkan dengan seenak hati menyuruh Jeffrey, kenapa bukan dirinya saja yang mengantar Nesa kerumah sakit? Atau kalau dirinya repot, ia bisa dengan mudah menyuruh Hesa untuk mengantar gadis itu.

"Gak perlu!" Cergah Nesa, "bentar lagi juga sembuh" Jawabnya ketus.

Bapak mendengus, "gimana mau sembuh kalau gak diobati..."

"Ya kalo gak sembuh paling mati, selesai!"

Hening.

Jawaban Nesa benar-benar membungkam semua yang ada disana. Hesa berusaha meraih telapak tangan gadis itu untuk ia genggam, namun Nesa menepisnya kuat-kuat--membuat Hesa memandang wajah Kakaknya dengan tatapan sedih.

Nesa berusaha bangkit dari tidurnya, dengan raut wajah kesal sekaligus marah, ia berusaha memandang wajah Bapak.

"Kemarin aku sempet mikir, apa aku harus kayak Mas Hesa dulu ya yang dikeroyok sama banyak orang supaya Bapak juga bisa perhatian sama aku? Apa aku juga harus bonyok sana-sini juga supaya Bapak bisa anggep aku?---

ZONA ASTARAJINGGA || HAECHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang