enam belas.

86 8 2
                                    

Malam semakin larut namun kata-kata tidak berangsur surut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Malam semakin larut namun kata-kata tidak berangsur surut. Dua anak manusia tengah bercengkrama ditengah dinginnya malam dan terangnya sinar bulan, membicarakan ini dan itu, dari hal kecil sampai hal besar, dari senang hingga sedih, dari kiamat sugra sampai kiamat kubra. Semua mereka bahas, tak terkecuali.

Masih bersama si Jelita yang tetap anggun berdiri, walaupun beberapa dahannya agak botak karena dipangkas sang Tuan rumah, tapi agaknya Jelita masih diminati oleh  penghuni rumah lain nya. Kopi milik Hesa sepertinya tersisa setengah dan sudah mulai dingin. Disampingnya terdapat cangkir kopi yang isinya tak tersisa karena Reno menegaknya buru-buru sebab ia dipanggil Ibu untuk segera pulang demi membeli segalon air mineral di agen milik Vadia. Sebelum pulang, Reno sempat mengumpat karena sudah berulang kali ia menolak untuk berbelanja di agen Vadia tapi Ibunya tetap bersikeras. Alhasil dia menurut karena sudah kehilangan kata-kata untuk membantah perintah Ibunya. Disebelah cangkir kopi Reno, juga terdapat sekotak rokok marlboro merah milik Hesa yang tinggal tersisa 4 batang. Udara dingin diluar membuatnya menghisap gulungan tembakau tersebut begitu cepat layaknya kereta ekonomi yang mengepulkan banyak asap diudara.

"Terang banget bulan nya." Gumam Nesa saat kepalanya mendongak menatap langit, "Kenapa bisa begitu ya?"

Hesa menoleh kearah Kakaknya yang sepertinya benar-benar takjub akan sinar rembulan diatas sana, "hah?"

"Kenapa bisa terang banget begitu?" Nesa mengulang ucapannya.

"Ya karena ini malem... Kalo pagi terangnya sama matahari, kalo malem ya sama bulan" celetuk Hesa.

Nesa berdecak, "ish tai!" umpatnya.

"Lah, kalo malem adanya apa coba?" tanya Hesa dengan wajah setengah mati serius.

Nesa memutar bola matanya, "bulan" jawabnya singkat.

"Ya nyamuk lah. Nah kalo siang baru adanya lalet" katanya mengasal kemudian tertawa.

Nesa juga ikut terkekeh, namun tangannya terulur untuk menjambak rambut Hesa yang sudah lumayan panjang, membuat si empunya meringis kesakitan.

"Teh, mau tau satu cerita gak?" tanya Hesa sambil menyugar rambutnya.

"Apa?"

Hesa membenarkan posisi duduknya, dan mengubah pandangannya--mendongak kearah langit. "Katanya, kalo kita rindu sama orang yang udah meninggal, kita tinggal bicara aja sama bulan. Dia bakal denger dan liat kita lewat pancaran sinarnya."

"Itu mitos, tapi gue percaya ..." lanjut laki-laki itu sambil terus menatap bulan yang menggantung diatas langit, "dan sekarang gue kangen Mama"

Nesa tersenyum getir sambil memeluk kedua kakinya, "hmm, me too. Kira-kira Mama lagi apa ya, Mas?"

"Mama lagi ngeliatin kita dari atas sana, terus sambil mempertanyakan kenapa anak perempuannya sedih terus..."

Nesa menoleh kearas Hesa yang masih setia memandang bulan terang dilangit malam, kemudian mendorong tubuh lelaki itu pelan. Tak ada hal yang lebih baik daripada duduk berdua bersama Hesa dibawah si Jelita dan juga langit malam. Seakan bisa melepaskan seluruh beban yang hinggap diseluruh tubuh dan juga kepala. Kehadiran Hesa memang sangat berharga bagi Nesa. Lelaki itu semacam healing baginya, bagaimanapun suasana hatinya, Hesa adalah tempat terbaik menumpahkan segalanya.

ZONA ASTARAJINGGA || HAECHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang