Memandang langit malam yang gelap sudah menjadi kebiasaan yang tidak bisa Hesa tinggalkan--sekalipun langit itu tanpa bintang. Kegiatan itu merupakan sebuah healing baginya. Hanya menatapnya sembari melamun tanpa melakukan apa-apa, rasanya tenang sekaligus nyaman. Namun, ada sebuah rasa yang tiba-tiba saja selalu menghampirinya tiap kali ia menatap langit.
Benar, ia adalah rasa rindu yang mencuat seakan mencari siapa pemiliknya, yaitu sosok Mama dan juga Kakaknya.Hesa menghela napasnya, kemudian beranjak masuk kedalam rumahnya sebab udara dingin yang semakin menusuk kulitnya.
Tiba-tiba saja langkahnya terhenti saat ia berada tepat didepan kamar Nesa, kemudian ia membuka pintu kamar itu secara perlahan--kamar Nesa tak pernah berubah. Hesa dan Bapak memang sengaja untuk tidak mengubah tatanan kamar Kakaknya, bahkan beberapa sticky notes yang berada dimeja belajar gadis itu dan sebuah poster Justin Bieber yang berada didinding masih menempel dengan sempurna. Seprai dan juga sarung bantal juga masih terpasang dengan rapih--Hesa menggantinya setiap seminggu sekali. Ia juga terus membersihkan debu dan juga menyapu serta mengepel lantai kamar tersebut--bahkan Hesa masih setia menyalakan lilin aromaterapi yang biasa Nesa pakai setiap malam.
Saat ditanya oleh Reno mengapa dirinya masih terus melakukan itu--maka Hesa akan menjawab, "gue takut pas Teh Nesa pulang, tiba-tiba dia marah karena ngeliat kamarnya berantakan. Makanya gue beresin terus, gue gak mau diomelin."
Hesa masuk, kemudian mendudukkan diri dikursi meja belajar Kakaknya. Entah mengapa matanya tertuju pada sebuah kotak kecil yang berada sisi kanan atas. Tangan Hesa terulur untuk meraih kotak tersebut, lalu dengan cepat ia membukanya.
Lelaki itu menemukan sepucuk surat yang terbungkus rapih diamplop berwarna biru laut--dibagian depan terdapat sebuah nama yang tertulis disana, "for; Laksamana."
Hesa mengerenyit saat membaca nama itu, otaknya bekerja mengingat siapa Laksamana yang Nesa maksud. Kemudian lelaki itu mengerjap, sosok Nana tiba-tiba saja muncul dikepalanya. Ia berpikir, sepertinya Nesa sengaja menuliskan surat itu untuk Nana. Namun, tak sempat ia berikan atau bahkan memang sengaja tak ingin ia sampaikan.
Tanpa bermaksud untuk kurang ajar, Hesa mengeluarkan isi amplop tersebut--kemudian ia membaca tiap kalimat yang Kakaknya tulis secara seksama.
Hesa mengusap ujung matanya yang basah--ia merasa terharu akan ketulusan hati Kakaknya. Gadis itu bahkan dengan sangat ikhlas menulis sepucuk surat untuk orang yang jelas-jelas telah pergi meninggalkannya begitu saja.
Hesa marah? Tidak, ia tidak berhak untuk hal itu. Untuk apa ia marah, sementara Nesa bisa menerimanya dengan lapang dada?
Lelaki itu mengembalikan surat tersebut kedalam kotaknya setelah ia membungkusnya kembali dengan amplop. Kemudian merogoh kantong celana untuk meraih ponselnya.
"Halo, Mas Nana?" Ucap Hesa pelan setelah mendengar suara grasak-grusuk diseberang teleponnya.
"Bisa kita ketemu sekarang?" Lanjutnya.
Nana mengetuk-ngetuk jari telunjuknya pada ujung meja, matanya tidak ia edarkan kemana-mana selain pada pemandangan jalan didepannya. Nana sudah tiba 15 menit setelah Hesa menghubunginya--ia bergegas untuk menuju kafe yang Hesa beritahu dimana mereka akan bertemu.
Tak berapa lama kemudian, Nana menangkap sosok Hesa tengah memarkirkan motornya. Tiap kali Nana memandang wajah Hesa dan sorot mata lelaki itu--bayangan seorang Nesa pun juga ikut hadir didalamnya. Hesa selalu mengingatkannya pada sosok gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZONA ASTARAJINGGA || HAECHAN
FanfictionHesa kira, kepergian Mama adalah satu-satunya kehilangan yang akan ia alami seumur hidupnya. Namun, agaknya ia keliru-ternyata setelah kepergian Mama, ia terus menjumpai kehilangan-kehilangan berikutnya. wordizards, 2021.