tiga puluh tujuh.

61 10 2
                                    


Gerimis dimalam hari kadang memang menambah kesan resah dan sendu pada tiap rintik dan gemericik air yang turun. Disaat yang bersamaan pula, pasti ada beberapa sosok yang sedang merindu dan sengaja menyambut kedatangannya dengan pilu--salah satunya adalah Hesa.

Malam hari dan gerimis adalah waktu yang tak pernah bisa ia lewatkan untuk sekedar membuka ruang kerinduan pada sosok Mama dengan empresi mengharu biru--seakan bulir-bulir air hujan memang membawa rindu yang sengaja Mama titipkan pada langit untuk Hesa.

Aroma petrichor yang segar dan membuat nyaman perlahan mengikis rasa rindu yang menyedihkan--dan menggantinya dengan banyak harapan serta doa agar Mama selalu mendapat tempat yang terbaik disisi-Nya.

"Mas... Kalau kata Penyair, hujan itu selalu identik dengan kesedihan. Tapi kalau kata Mama, hujan itu anugerah. Banyak yang bisa tumbuh karenanya, bahkan bunga berharap pada hujan disaat semua tengah berada pada kekeringan--supaya ia bisa tetap mekar dan selalu memberi keindahan pada setiap mata yang memandangnya." Ujar Mama pada malam mendung tanpa bintang tepat 6tahun silam.

"Kayaknya Mas bakal dengerin kata Mama aja deh soal hujan. Karena, hujan gak melulu soal kesedihan, kadang ada kerinduan, kehidupan, bahkan suka cita setelahnya."

"Tapi bener juga kata Penyair, Mas. Kalau tidak ada hujan, kita gak akan pernah tau arti penting dari kesedihan, kerinduan, kehidupan atau bahkan suka cita itu sendiri... Karena, kalau kita menginginkan pelangi, maka kita harus terlebih dulu bersedia menanggung hujan."

Kalimat-kalimat yang Mama sampaikan malah terkesan sangat bermakna saat beliau telah tiada--Hesa mengartikan tiap kalimat Mama seperti bahasa cinta yang mampu menemaninya tumbuh diantara bayang-bayang Mama walaupun raganya tak lagi ada. Namun, tiap kata yang sempat beliau semaikan pada telinga Hesa--masih berputar jelas mengelilingi kepala dan hatinya walaupun tak lagi terdengar, melainkan hanya lantunan-lantunan kata tanpa suara.

Petikan dari gitar yang bahkan sampai saat ini belum diberi nama oleh Hesa, menggema seantero rumah keluarga Astarajingga--malam gelap tanpa bintang, mendung, dengan suara gerimis seakan menambah kesan dingin pada dinding-dinding rumah.

Hesa tak bergeming, matanya terpejam seakan ia begitu menikmati kesendiriannya malam itu diteras rumah. Kali ini tak ada secangkir kopi atau bahkan marlboro merah, ia hanya berdua saja dengan si Tuan gitar tanpa nama yang saat ini benar-benar mengerti dan menemani kesedihannya.

Hesa memutar ingatannya, beberapa hari terakhir seperti ada yang terlupakan--bahkan ia merasa otaknya sudah banyak bercabang, namun masih belum mampu menampung semua pikirannya. Ya, Hesa lupa memasukkan sosok Inara kedalam daftar hal yang seharusnya ia pikirkan. Rasa bersalah juga perlahan muncul dan mulai menggerayanginya, padahal ia sendiri yang berani menjamin bahwa ia akan senantiasa berada disisi Inara, namun pada kenyataannya bahkan ia sendiri yang mematahkan kalimat yang pernah ia lontarkan pada Inara perihal eksistensinya dihidup gadis itu.

"Selamat malam wahai Adinda diseberang sana ..." Goda Hesa begitu Inara mengangkat panggilan telepon nya.

"Hmm... Ada apa nih? Tumben." Jawab Inara dengan suara seraknya, sepertinya gadis itu memang tak berniat mengangkat telepon dari kekasihnya.

"How's your day, Ra?"

"Capek---" Inara terdengar menggantungkan kalimatnya sejenak.

"Berat, Sa. Mau ngeluh tapi malu sama kamu." Lanjut Inara, rasa ingin mengeluarkan kalimat-kalimat yang dapat membuat Hesa tak khawatir pun sepertinya sudah tak mampu ia ucapkan. Nyatanya, gadis itu memang lelah.

Hesa tersenyum, walaupun ia yakin bahwa Inara tidak dapat melihat senyumnya.

"Kamu tau gak alasan kenapa Allah sengaja menjadikan aku sebagai pacar kamu?" tanya Hesa pelan dan dengan intonasi yang membuat telinga Inara nyaman saat mendengarnya.

ZONA ASTARAJINGGA || HAECHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang