tujuh belas.

71 6 0
                                    

Sinar matahari pagi yang terbesit dari balik dahan-dahan pohon yang membentang sampai ujung jalan, membuat setiap mata menyipit seakan menghalau sinarnya yang memaksa masuk menabrak netra.

Hesa berjalan gontai dan lemas melewati koridor kampus yang pagi ini sudah begitu ramai, membuat lelaki itu menghela napasnya panjang seakan tak mendapatkan udara bebas diarea kampusnya. Mata Hesa memicing--menemukan sosok baik hati yang sewaktu itu berusaha mencarinya. Ia berdiri ditaman air mancur fakultasnya, earpods sudah terpasang ditelinga sebelah kanannya, sambil memegang beberapa jurnal, gadis itu nampak seperti sedang menunggu seseorang.

"Hey!" Sapa Hesa begitu ia sampai dihadapan gadis itu. Hesa memang bermaksud menghampirinya, karena ia penasaran. Sekaligus ingin mengucapkan kata terimakasih yang dirasa lebih pantas.

Gadis itu menoleh, jidatnya mengerenyit begitu menemukan sosok Hesa yang sedang tersenyum kikuk sambil memamerkan deretan gigi putihnya.

"Mahesa?"

Hesa terkekeh, kemudian mengangguk mantap. "Hesa ... Panggil aja Hesa" ucapnya sambil mengulurkan tangannya.

Tangan gadis itu terulur, menjabat tangan Hesa, "ada apa?" tanyanya dengan nada yang sangat lembut.

"Makasih ya, makasih banget udah nemuin dompet gue"

"Waktu itu kan lo udah bilang makasih, santai aja kali" ucap gadis itu kemudian terkekeh.

Hesa menggaruk bagian belakang kepalanya yang sama sekali tidak gatal, "gue ngerasa perlu aja bilang makasih berkali-kali, kalo bukan karna lo mungkin gue udah bolak-balik ngurusin surat-surat."

Lagi-lagi gadis itu tertawa, membuat Hesa semakin gugup saat berbicara dengannya, "bukan karena ada uangnya kan?"

"Bukan..." Hesa menggeleng, "uangnya cuma gocap" jawab Hesa jujur kemudian ia tergelak sendiri dengan apa yang ia katakan, yang membuat gadis itu juga semakin tertawa.

"Btw, gue boleh tau nama lo? Gue belum tau nama lo" lanjut Hesa lagi.

"Inara." Jawab gadis itu cepat, membuat Hesa mengangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti.

"Terus panggilan nya siapa? Gue harus manggil lo apa? Inara? Ina? Ara? Iin?"

Inara mendengus sebal begitu mendengar akhir dari kalimat yang Hesa ucapkan, "apa aja asal jangan Iin" cegahnya.

Hesa tertawa keras, membuat beberapa orang menoleh kearah mereka, "Oke kalo gitu Iin."

Hesa memasuki kelasnya dengan sumringah, langkahnya sengaja ia ayunkan dengan perasaan bahagia, seakan baru saja mendapat undian uang milyaran rupiah. Ia duduk disamping Reno yang terlihat sedang tenggelam dengan ponselnya, bahkan ia sama sekali tidak menyadari kehadiran Hesa disana. Hesa memperhatikan wajah Reno lamat-lamat sambil mengguratkan senyum terbaiknya, agaknya Reno sama sekali tidak peduli, itu membuat Hesa dengan lantang berteriak ditelinganya, membuat Reno terkejut dan hampir saja membanting ponselnya.

"Bangsat!" Umpat Reno sambil menggebrak mejanya.

Alih-alih meminta maaf, Hesa malah terbahak-bahak sambil memegangi perutnya.

"Lo gak tau ya, Per, azab ngagetin orang apa?"

"Apa?"

"Nanti kuburan nya dilemparin petasan kretek sama petasan jangwe" jawab Reno asal.

"Nanti gue bales pake petasan banting"

Reno mendengus sebal, "anjinglah!" Sepertinya lelaki itu sudah lelah sebab Hesa terus-terusan menimpali perkataannya.

"Ren..."

Reno sengaja tak ingin menjawab.

"Ren..."

ZONA ASTARAJINGGA || HAECHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang