"Lho kok udah pulang?" tanya Aya melihat punggung Biya yang berlari ke kamar disusul Bayu yang berjalan tergesa di belakangnya.
"Assalamualaikum Bunda, nanti abang jelasin ya. Abang ke Biya dulu," ucap Bayu menyempatkan mencium pipi Aya agar Bundanya tidak khawatir.
"Anak itu, pasti bikin kakaknya ngambek lagi." ucap Aya yang mengira Biya main nyolong karena sedang ngambek dengan kembarannya. Itu sudah sering terjadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Toh beberapa jam lagi mereka akan baikan.
Bayu menahan pintu kamar Biya sebelum tertutup.
"Gu-gue mau sendiri dulu," Bayu menggeleng, dirinya menyelinap masuk kemudian menutup pintu.
"Nggak, lo nggak pernah sendiri. Lo nggak akan pernah sendiri Biy, apapun keadaannya lo nggak akan pernah sendiri," ucap Bayu memeluk Biya yang mulai menangis.
"Gu-gue benci dia, gue benci dia Bay." Bayu mengeratkan pelukannya.
"Gue salah apa Bay?"
"Gue harus gimana? Semuanya berakhir, gue kotor Bay, gue udah berzina. Gue benci diri gue sendiri." Bayu semakin mengeratkan pelukannya.
"Kenapa Allah menghukum gue begini? Gue salah apa Bay?"
"Istighfar kak, istighfar."
"Gue ga pantes jadi kakak. Gue, gue menghancurkan harapan Ayah Bunda. Gue mengecewakan semuanya, gue hiks, gue benci." kali ini Bayu berusaha menghentikan Biya yang memukuli dirinya sendiri.
"Biya denger gue." Bayu ikut duduk dilantai saat Biya duduk dengan menyembunyikan kepala di lututnya.
"Gue udah merusak semuanya, gue benci sama dia Bay. Gue benci diri gue, kenapa gua ga bisa lawan, gue ben-"
"Biya!" Biya mengangkat kepala karena terkejut mendengar bentakan Bayu. Ia kembali menunduk saat melihat tatapan sendu kembarannya, ia mengecewakan semuanya, ia merusak semuanya.
"Kak dengerin gue." Bayu menangkup wajah Biya agar menatapnya.
"Sampai kapanpun lo akan selalu jadi kakak terbaik gue. Gue ga peduli apa pun yang terjadi hari ini, lo tetep kakak terbaik gue. Gue ga akan biarin lo sendiri. Kita hadapi ini bareng. Lo nggak sendiri kak, lo nggak akan pernah sendiri."
Saat Biya memeluknya dengan isak tangis, Bayu tidak bisa lagi menahan perasaanya. Air matanya perlahan meluruh, dia mengepalkan tangan untuk menahan agar tidak ikut terisak. Ini akan menjadi subuh paling menyesakkan untuk keduanya.
***
Di lain tempat, Derren terbangun saat merasakan tarikan kasar pada selimut yang ia kenakan. Tak lama ia merasakan selimut itu kembali dilempar ke arahnya.
Tidak cukup dengan itu, ia sangat terkejut saat merasakan guyuran air dingin.
"Papa apaan sih, iya ini bangun subuh." jawab Derren sebal karena cara membangunkan bar-bar Papanya.
Setelah mengatakan itu ia justru kembali mendapat guyuran air.
"Papa apaan sih!"
"Kenapa mau protes? Udah ngrasa hebat ngrusak anak orang, hah? Bersihkan tubuh kamu, Papa tunggu di ruang tengah. Cuci sekalian otak kamu itu!"
Derren berdecak, kepalanya masih pusing sisa mabuk semalam. Dan dirinya justru dibangunkan dengan cara yang tidak manusiawi.
"Lo ngapain di kamar gue?" tanya Derren menyadari ada Gibran di kamarnya.
Gibran melangkah mendekati Derren.
Bugh
"Untuk perbuatan bejat lo ke perempuan."
Sebagai anak yang dihadir karena perbuatan tidak disengaja, Gibran tahu jelas penderitaan yang dialami ibunya karena tindakan tidak bertanggung jawab seorang laki-laki. Untuk itu ia sangat membenci segala bentuk pelecehan terhadap wanita. Ia tidak ingin ada yang merasakan penderitaan seperti uminya, juga penderitaan sebagai anak haram sepertinya.
Bugh
"Karena lo udah melakukannya ke adik gue."
Apalagi perbuatan itu dilakukan ke Biya, adiknya. Dan ia tidak bisa memungkiri, Biya sekarang masih memiliki tempat di hatinya.
Bugh
"Orang yang gue sayang."
Setelah Gibran keluar dari kamar, Derren semakin dibuat bingung.
"Sial kenapa gue diem aja dipukul berkali-kali." Ucap Derren menyeka darah yang keluar dari hidungnya.
Saat hendak bangkit dari ranjang ia terkejut karena dirinya dalam keadaan telanjang. Apalagi saat melihat bercak darah di sprei.
"Aghh, kepala gue pusing banget."
Mandi air hangat mungkin bisa menjernihkan pikirannya.
Tapi setelah selesai mandi ia justru semakin pusing saat mengingat dengan samar perbuatannya dini hari tadi. Apalagi melihat barang-barang Biya yang masih tertinggal di kamar ini.
"Nggak, gue nggak mungkin nglakuin tindakan bejat itu ke Biya. Nggak, ini gue masih mabuk pasti." ucap Derren memukul sendiri kepalanya. Tapi bayang-bayang Biya yang menangis justru memenuhi kepalanya.
Saat keluar dari kamar, Papa dan Mamanya sudah duduk tegak di sofa. Dirinya melihat mamanya menyeka air mata, Derren semakin takut kalau ini semua memang nyata.
"Ma,"
"Jangan sentuh Mama!" seru Dea saat Derren berniat memegang tangan mamanya.
"Duduk." ucap Papanya tegas.
"Jelaskan." Demi apapun Derren tidak pernah melihat papanya seserius ini.
"Sejak kapan kamu mabuk-mabukan?" Derren merasa ini lebih menegangkan dibandingkan konsultasi skripsi dengan dosen pembimbingnya yang terkenal paling killer satu kampus.
"Jawab!"
"Dua tahun ini," jawab Derren akhirnya. Tiga kata itu membuat Mamanya menangis.
"Udah berapa anak orang yang kamu perkosa?" Astaga, apa papanya tidak bisa memilih diksi yang lebih enak didengar.
"Derren cuma minum Pa, nggak pernah main cewek."
"Cuma? itu haram bang. Ya Allah. Lalu pagi ini apa kalau bukan main cewek? Mama kecewa, mama bener-bener nggak nyangka abang sudah sejauh ini!" sahut Mamanya dengan tatapan kecewa yang kentara.
"Papa nggak pernah melarang kamu melakukan sesuatu, asal itu bukan hal buruk. Kami percaya sepenuhnya ke abang. Tapi apa ini balasan dari kepercayaan kami?"
"Kalau abang merugikan diri sendiri Mama nggak akan sekecewa ini. Tapi kali ini orang lain bang, apalagi itu Biya. Anak dari sahabat Papa sama Mama, bagaimana Mama harus menjelaskan ke Aya dan bang Aldi nantinya? Ayah dan Bundamu,"
Derren berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi pagi ini. Tapi pikirannya semakin tidak fokus saat Mamanya menangis terisak di pelukan papanya.
"Kita ke rumah Biya selepas subuh. Pikirkan apa yang akan abang katakan ke Ayah dan Bunda nanti."
"Pa," cegah Derren saat Tama bangkit dari sofa.
"Ja-jadi Derren beneran nglakuin itu ke Biya?" Derren masih sempat mendengar helaan napas Papanya sebelum merasakan pukulan keras di perutnya.
"Papa udah tahan sejak tadi karena liat luka yang Gibran kasih, tapi kamu malah bikin papa makin emosi. Itu biar kamu sadar." Setelah mengatakan itu Tama meninggalkan Derren yang masih terduduk di lantai karena pukulan tadi.
"Ma,"
"Mama kecewa bang," Tidak ada yang lebih menyakitkan dibanding melihat dan mendengar langsung kekecewaan dari orang yang paling Derren sayang. Bahkan pukulan Papanya tidak lebih menyakitkan dibanding tatapan kecewa Mamanya.
Yang Darren tau, semua tidak akan sama setelah ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
B [Completed]
General Fiction"Gue benci sama lo, gue benci!" "Ayo menikah!" Takdir memang tidak ada yang tahu. Suka sama siapa menikahnya sama siapa. Lucunya hidup ini. Tapi dibalik semua itu, rencana Allah memang yang terbaik.