B 17

3.8K 290 3
                                    

"Kenapa nggak ngabari kalau masuk rumah sakit?" Tanya Derren pada Bayu.

"Emang lo siapa?" Tanya Bayu membuat Derren diam. Dia memang bukan siapa-siapa, tapi kan...

"Biasanya kan lo ngabari kalau Biya atau Bila sakit."

"Biya nggak suka lo ada disini." Bener juga. Batin Derren.

"Jadi gue harus pergi kalau Biya bangun nanti?" Tanya Derren menatap khawatir Biya yang tertidur di ranjang rumah sakit dengan tangan diinfus.

"Biya nggak mual kalau deket lo, tapi dia nggak suka lo ada di dekatnya." Sebentar, biarkan otak Derren mencerna dulu.

"Jadi?"

"Lo disini dulu, selanjutnya terserah Biya nanti mau gimana."

Ingatan Derren berputar pada kejadian yang menurutnya aneh belakangan ini. Biya yang sarapan di kampus sambil mencuri pandang ke arahnya. Atau Biya yang sering meliriknya saat ia main ke rumah Aldi. Selama ini Derren tentu sadar dengan tindakan aneh Biya, tapi ia pura-pura tak tau agar Biya tidak canggung. Jadi karena ini?

"Kenapa lo nggak bilang? Kan gue bisa sering-sering ke rumah."

"Biya juga baru bilang waktu masuk rumah sakit ini. Dan jangan lupa, dia nggak suka lo ada di sekitarnya."

"Alhamdulillah." Ucap Derren dengan senyum lebar.

"Sinting lo?"

"Gue bersyukur Bay. Artinya gue punya kesempatan lebih besar buat ngobrol sama Biya. Syukur-syukur nanti dia mau gue ajak nikah."

"Jangan harap." Bayu dan Derren kompak menoleh ke Biya yang masih terpejam.

"Gimana keadaan lo? Pusing? Mual? Lo pengen apa? Mau minum? Makan? Ke kamar mandi? At-"

"Pengen lo berhenti ngoceh." Sahut Biya membuka mata. Ia menatap Derren. Dan perasaanya entah kenapa jadi lebih baik, jauh lebih baik.

"Gue tadi minta Gibran beli nasi pecel di tempat biasa. Mau coba makan?" Ucap Bayu duduk di kursi samping ranjang Biya.

"Gibran mana?"
"Jemput umi di bandara. Coba makan ya kak, biar cepet dibolehin pulang."

"Mumpung ada gue Biy. Lo bisa natap gue sepuasnya."

"Lo cerita ke dia?" Tanya Biya tak suka.

"Sorry, gue pikir lo nggak bisa gini terus. Dia butuh nutrisi, plus ibu yang sehat." Ucap Bayu melirik perut Biya.

"Mau gue sua...ehehe, enggak ya." Ucap Derren saat mendapat tatapan tajam Biya dan Bayu.

"Lo balik badan."

"Masa gue har-"

"Nurut aja kenapa sih lo," Derren cemberut saat Bayu mengatakannya dengan tatapan tajam.

"Iya iya, galak bener kalian."

Dan benar saja, Biya bisa makan tanpa memuntahkan kembali isi perutnya.

"Lho kata kak Dhea kamu ke Bandung sama bang Tama?" Heran Aya saat melihat Derren di kamar inap Biya.

"Disuruh balik anak bunda tuh."

"Hah?" Heran Aya, pasalnya anak-anaknya jelas sedang perang dingin dengan Derren.

"Biya jadi nggak mual kalau liat Derren. Makanya Derren disini biar Biya cepet sembuh." Aya menatap Biya dan bungkus makanan yang sepertinya sudah habis. Ah ia paham sekarang.

"Terus kenapa hadap pintu gitu?"

"Masalahnya Biya juga gasuka kalau Derren ada di sekitarnya Nda. Kan serba salah." Adu Derren membuat Aya terkekeh.

***

"Gimana hari ini?" Tanya Aldi duduk disamping Biya yang lesehan di ruang keluarga.

"Nggak buruk," jawab Biya menyandarkan diri pada Ayahnya.

Hari ini pertama kali Biya masuk kampus lagi setelah 3 hari rawat inap dan istirahat di rumah 4 hari. Sengaja dibuat genap sepekan.

Dan jangan tanya, dalam kurun waktu itu tak terhitung lagi berapa kali Derren menghampirinya. Disatu sisi Biya merasa bersyukur karena mualnya hilang, tapi disisi lain ia enek juga dengan Derren. Apalagi beberapa hari terakhir pemuda itu gencar sekali mengajaknya nikah. Ngomong-ngomong soal nikah...

"Ayah, menurut ayah, menikah itu apa?"

"Menikah?" Biya mengangguk.

"Orang sering bilang nikah itu penyempurna separuh agama, nikah itu ibadah seumur hidup, nikah itu komitmen jangka panjang, nikah itu awal dari lebaran lain dalam hidup, dan banyak lagi. Bener sih kak, tapi bagi ayah menikah itu ikhlas, sesederhana itu."

"Kok ikhlas?"
"Karena saat menikah, kita ikhlas menyerahkan semuanya pada pasangan kita, dan ikhlas menerima bagaimanapun keadaan pasangan kita. Kakak kan tau Ayah dan Bunda dipertemukan dalam keadaan yang istimewa, yang bisa kami lakukan saat itu hanya ikhlas. Membiarkan Allah mengatur jalan pernikahan kami kedepannya. Saat bunda bisa menerima Ayah apa adanya, Ayah bisa menerima bunda apa adanya, disitulah pernikahan yang sebenarnya. Dari sana nanti, akan terbangun ikatan abstrak untuk menjaga pernikahan ini. Kasih sayang, komitmen, kebahagiaan, itu baru bisa didapat saat ada keikhlasan."

"Ayah pernah ragu menikah dengan Bunda?"

Aldi mengangguk. "Bahkan setelah menikah pun ragu itu ada kak. Ragu apa ayah bisa menjadi imam yang baik untuk bundamu. Ragu apa bundamu menerima pernikahan ini, dan ragu-ragu yang lain. Itu upaya setan untuk memisahkan ikatan halal."

"Apa ayah bahagia?"
"Harus dijawab kah? Tentu saja. Bahkan saat ada di masa terendah pun ayah bahagia karena ada bundamu."

"Such a beautiful love," ucap Biya dengan senyum sendu. Bahkan untuk menikah saja Biya tak yakin ada yang bisa menerim kondisinya.

"Yang perlu kakak tau juga, setiap orang punya kisahnya masing-masing. Kakak pun akan akan merasakannya."

"Bisakah?"
"Tentu, cukup biarkan waktu yang membuktikan."

"Biya pikir, Biya tidak mau menikah." Aldi mengentikan usapan tangannya di kepala Biya.

"Ayah nggak akan maksa. Take your time kak, perjalanan kakak masih panjang. Akan ada banyak hal yang bisa mengubah apapun yang ada di bayangan kakak tentang pernikahan saat ini. Just take your time." Jawab Aldi setelah cukup lama terdiam.

"Derren ngajak nikah terus. Tapi Biya justru makin ragu, mau jadi apa rumah tangganya nanti kalau kami beneran nikah. Such a bad dream."

"Jujur aja, Derren dan papa Tama sudah beberapa kali meminta kakak ke Ayah langsung. Ayah nggak pernah bilang karena Ayah pikir kakak tidak akan suka dengan pembahasan ini. Berhubung kita lagi bahas tentang pernikahan, kalau boleh ayah tanya, kenapa kakak menolak?"

"Biya kenal Derren Ayah. Dari kecil, bahkan udah seperti saudara sendiri.  Derren tau baik buruknya Biya. Biya tau baik buruknya Derren. Termasuk Derren yang sering mabuk, pergaulannya yang bisa dibilang bebas, Derren yang perokok, phpin cewek, suka mengumpat, cuma hafal 3 qul aja, selalu telat bangun subuh, dan lain-lain. Biya tau. Biya nggak pernah benci Derren karena itu,

"Biya juga tau dibalik itu semua Derren bertanggung jawab, sayang keluarga, perhatian, pengertian, pekerja keras, punya visi ke depan, dan yang terpenting dia mau belajar memperbaiki diri. Biya percaya, sangat percaya sama dia.

"Semua nakal-nakalnya Derren masih bisa dimaklumi selama ini. Tapi enggak dengan kejadian itu Yah. Karena Biya sangat percaya sama Derren, saat itu juga Biya sangat kecewa. Dia menghancurkan semuanya Ayah."

Aldi memeluk Biya saat putri sulungnya mulai menangis.

"Biya memang tidak sempurna atau sudah merasa baik untuk menolak Derren. Tapi Biya tidak ingin kecewa lagi, apa salah?"

B [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang