B 41

3.6K 273 0
                                    

"Mau ikut aku ke kafe atau aku anterin pulang dulu?"

"Pulang aja," Jawab Biya dengan raut wajah yang sulit dideskripsikan.

"Kenapa, hum? Bukankah dokter tadi bilang semuanya baik-baik aja. Kok mukanya jelek gitu?"

"Entahlah Der, harusnya kalau semua baik-baik aja kita nggak perlu menunggu selama ini kan?"

Itu yang mengganggu pikiran Biya. Hasil pemeriksaan tadi, ia dan Derren sama-sama sehat, semua baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Jika dokter mengatakan ada masalah padanya atau Derren, naudzubillah, mungkin lebih masuk akal kenapa mereka belum memiliki momongan sampai sekarang. Semua baik, tapi mereka masih belum diberikan keturunan, bukankah aneh?

Apa memang Allah marah karena dulu Biya sempat menolak calon anaknya dan tidak menjaganya dengan baik?

"Biya, jangan berpikir yang enggak-enggak. Kalau semua baik, dan Allah belum memberi kesempatan kepada kita untuk jadi orang tua, artinya belum saatnya." Ucap Derren menyadari Biya akan kembali overthinking.

"Tapi Der-"

"Mungkin Allah ingin kita lebih menyiapkan diri dulu. Lebih banyak belajar bagaimana menjadi orang tua yang baik. Berusaha lebih keras menyiapkan kehidupan yang layak untuk anak kita nanti. Atau mungkin saja Allah memberi kesempatan agar kita berdua sama-sama memperbaiki diri dulu sebelum mendapat amanah yang besar untuk mendidik anak. Ah, bisa juga Allah kasih kesempatan biar kita bisa pacaran dulu. Pokoknya harus berprasangka baik, oke?"

Derren benar. Mungkin Allah memang sedang memberi kesempatan untuk mereka berdua bisa mempersiapkan diri agar menjadi orang tua yang baik nantinya. Jadi Biya harus berterima kasih, sabar, dan tentu saja lebih banyak belajar dan berdoa.

"Huum, kamu benar."

"Nah gitu dong, nggak boleh mikir aneh-aneh."

Biya mengangguk. Karena bagaimanapun Allah adalah prasangka hambanya, jadi ia tidak boleh berprasangka buruk.

***

Satu tahun ini Biya lewati dengan cukup sulit. Selain masalah momongan yang tetap saja menjadi beban pikiran Biya, ia juga mulai disibukkan dengan dunia kerja.

Setelah lulus Biya memang mulai bekerja di perusahaan yang menjadi impiannya sejak kuliah dulu. Membuat dirinya menjadi sangat sibuk. Di lain sisi, Derren juga semakin sibuk dengan kafe dan start up yang mulai ia bangun setelah lulus, lanjutan dari freelancenya dulu.

Sebenarnya Derren sudah menawarkan Biya agar bergabung dengannya saja, mendirikan usaha bersama. Tapi Biya ingin mencoba bekerja di perusahaan setelah lulus kuliah, jadi Derren tak ingin menghalangi keinginan Biya. Toh nanti jika sudah bosan bekerja dengan orang lain Biya akan bergabung dengan usahanya. Biya itu mudah bosan, jadi Derren tak perlu khawatir. Satu atau dua tahun pasti Biya akan memilih resign.

Nyatannya belum ada setahun Biya sudah resign dari perusahaan yang ia impikan dulu. Kata Biya terlalu sibuk dan banyak tuntutan. Jadi ia pindah ke perusahaan lain yang lebih minim tuntutan, tapi ternyata justru lebih sibuk dari sebelumnya. Jadi setelah setengah tahun bekerja ia kembali resign.

Saat ini Biya bekerja di perusahaan lain yang relatif lebih kecil,tetapi iklim kerjanya nyaman, nggak toxic kalau kata Biya. Tunggu saja beberapa bulan lagi, mungkin Biya kembali bosan dan akhirnya bergabung dengan start upnya, begitu pemikiran Derren.

Mari kembali kepada Biya sedang bersama Bundanya sore ini.

"Nda nginep sini aja ya. Nanti tidur sama Biya. Lagian bunda harusnya bilang kalau Ayah keluar kota dan Bila lagi kemah. Kan jadi sendirian di rumah."

B [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang