B 29

3.3K 288 2
                                    

"Biy, jujur perasaan gue nggak enak dari pagi. Lo okay?" Tanya Bayu setelah Derren masuk ruang belajar. Sebenarnya Derren ingin langsung bertanya ada apa, tapi ia tahu meski mereka kembar dirinya tidak bisa ikut campur rumah tangga Biya.

"Eng, dibilang oke juga engga sih. Tapi gue udah jauh lebih baik, apalagi lo bawain bakso gini."

Bayu menatap Biya dalam. Biya tau itu tatapan khawatir.

"Gue cuma kecewa sama Derren. Tapi kita udah baikan kok. Jadi jangan natap gue gitu."

"Lo tau Biy, saat ini gue ngerasa serba salah. Gue tahu nggak seharusnya ikut campur rumah tangga lo, tapi di lain sisi gue khawatir, gue ngerasa nggak tenang. Sorry."

"Its okay Bay. Walau gue mungkin nggak bisa cerita semuanya, tapi lo akan tetap jadi tempat pertama gue untuk mengadu. Jadi lo nggak perlu terlalu khawatir, gue akan cerita kalau gue nggak bisa handle ini sendiri. Tapi disini gue juga berusaha menghargai Derren dan pernikahan kami. So, jangan khawatir okay?"

Tanpa mereka sadari Derren mendengar percakapan saudara kembar itu dari balik pintu ruang belajar. Ia sadar Bayu belum bisa percaya sepenuhnya untuk menyerahkan Biya, ia tidak menyalahkan Bayu karna itu. Yang membuatnya merasa buruk adalah sikap Biya yang begitu menghargainya sebagai suami, juga pernikahan mereka. Ia merasa semakin bersalah.

***

"Lo nggak nginep?" Tanya Biya saat Bayu meraih jaket yang disampirkan di sofa.

"Gue balik aja,"

"Udah malem Bay, nginep aja." Sahut Derren keluar dari ruang belajar.

"Nggak ah, maybe kalian butuh waktu berdua buat ngobrol, so take your time. Gue nggak mau ada laporan ngambek-ngambek nggak jelas lagi." Ucap Bayu menatap Derren dan Biya bergantian seperti kakak memperingatkan adik-adiknya.

"Biy, we need to talk," cegah Derren sebelum Biya masuk kamar setelah mengantar Bayu.

Biya menurut, ia berjalan menuju sofa ruang tengah. Tadi Bayu juga menasehati Biya agar terbuka dengan Derren, termasuk mengatakan apa yang Biya rasakan. Kata Bayu, Derren bukanlah dirinya yang punya ikatan batin sehingga bisa ikut merasakan apa yang Biya rasakan tanpa bertanya. Ia harus jujur dan berterus terang pada Derren.

"Aku minta maaf," ucap Derren setelah ikut duduk di sofa.

"Aku salah, aku tau kamu kecewa, Biy. Please jangan berusaha bersikap seolah kamu baik-baik aja Biy. Itu bikin aku makin merasa bersalah. Akan lebih baik kalau kamu marah-marah atau bahkan nangis di depan aku, keluarkan emosi kamu Biy, jangan dipendam." Biya menatap Derren yang juga sedang menatapnya.

Biya menghela nafas sebelum bicara.

"Aku kecewa Derren. Sangat kecewa. Pertama karena kamu melanggar janji, to be honest kejadian pagi tadi bikin trauma aku kembali, aku takut Der." Biya menjeda sebentar. Melihat Derren yang mengangguk dengan tatapan menyesal.

"Kedua, kamu mabuk, itu haram, dosa. Kita udah berbuat dosa zina sebelum ini, setidaknya kalau tidak bisa menghapus dosa itu dengan amalan, jangan tambah dosa yang lain. Dan sekarang aku juga ikut bertanggung jawab untuk dosa itu, aku izinin kamu main bukan untuk ini Derren."

"Sorry," klise, tapi hanya ini yang bisa keluar dari mulut Derren. Apalagi melihat sorot mata Biya yang sarat kesedihan dan kekecewaan.

"I do my best untuk hubungan kita. Please be cooperative. Aku nggak tau permintaan ini pantas atau engga, tapi aku harap kamu mau menjauhi teman-teman kamu itu. Jika belum kuat iman untuk bisa memegang kebenaran di lingkungan yang tidak mendukung, lebih baik tinggalkan lingkungan itu, atau kita yang akan ikut terjerumus."

B [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang