B 10

4.7K 292 5
                                    

Aya mengusap kasar air matanya saat merasakan tepukan pelan di bahu.

"Sama seperti yang Ayah bilang, it's okay menangis dihadapan abang. Abang tau ini juga berat untuk Bunda." Ucap Bayu dengan senyum yang justru semakin membuat Aya ingin menangis.

"Abang juga ya, setelah kakak, Bunda pikir Abang yang paling sedih disini. Kalian selalu berbagi perasaan bukan? Jadi it's okay untuk menangis dihadapan Bunda."

"Ah pastinya itu. Abang lagi mau sok kuat aja didepan Biya."

"Bunda juga mau," sahut Aya.

"Jangan keras-keras Nda, nanti Biya denger."

"Iya iya maaf. Yuk kita sarapan dulu aja, biar kakakmu sama Ayah nanti." Bayu mengangguk.

"Bila udah di bawah?" Tanya Bayu saat menuruni tangga.

"Iya, baru balik dari lari pagi."

"Perlu kasih tau ke Bila nggak Nda?"
Kali ini Aya menoleh ke Bayu yang berjalan di belakangnya.

"Bunda pikir Bila sudah cukup dewasa untuk mengerti. Dan akan aneh kalau dia gatau apa-apa."

"Nanti biar abang yang coba bicara ke Bila." Aya mengangguk. Bayu sangat bisa diandalkan soal ini.

"Bunda sendiri gimana, how do you feel now?"

Aya tersenyum. "Better, karna Bunda tahu kita akan hadapi ini sama-sama."

***

"Eng, gimana Biya?"
"Gotcha, akhirnya lo tanya juga." Kata Bayu karena teman sekaligus abangnya itu sudah hampir 2 jam hanya diam di kamarnya. Padahal Bayu tau tujuan utama Gibran datang untuk memastikan keadaan Biya.

"Masih gamau keluar kamar. Terakhir gue cek lagi main cacing."

"Cacing?" Tanya Gibran heran.
"Maksud gue game cacing. Lo liat sendiri aja deh, sekalian anterin makan malam."

"Emang boleh?"
"Yaaa lo kan abangnya. Tapi gatau Biya mau buka pintu nggak kalau itu lo."

"Lo aja deh, ntar Biya jadi nggak nyaman."

"Halah, daripada penasaran kan?"

Setelah menimbang cukup lama saran Bayu tidak buruk juga. Karena jujur Gibran sangat khawatir dan ingin melihat langsung keadaan Biya.

Disinilah pemuda itu sekarang. Berdiri dengan memegang nampan berisi makan malam.

"Biya," panggil Gibran sambil mengetuk pintu kamar Biya. Cukup kesulitan karena tangannya membawa nampan.

"Gu-gue bawa makan malam Biy." lanjut Gibran karena tak kunjung ada jawaban dari Biya.

"To-tolong taruh meja dekat pintu aja Gib. Ntar gue ambil, terima kasih sebelumnya"

Gibran menatap pintu kamar Biya. Ini sulit, sangat sulit. Apalagi saat perasaannya kepada Biya belum bisa ia ubah sepenuhnya. Dia takut memanfaatkan status sebagai abang agar bisa mengekspresikan perasaannya yang salah. Ia masih menyayangi Biya, sebagai wanita. Dan perasaan itu sulit dikendalikan.

"Gue pengen ngobrol sebentar boleh?" Tanya Gibran setelah diam cukup lama.

"Sorry, gu-gue lagi ga mau diganggu."

Gibran menghela napas. "Okay. Jangan lupa dimakan ya, adik." Ucap Gibran akhirnya.

Pemuda itu memutuskan untuk pamit setelah dari kamar Biya.

"Nggak mau nginep aja bang?" Gibran menggeleng.

"Gibran minta tolong dipastikan Biya sudah makan malam ya Nda, tadi Biya minta makanannya ditaro di meja aja." Aya mengangguk.

B [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang