B 36

3.5K 282 8
                                    

Biya menahan napas saat menyadari ia memeluk Derren saat ini. Bukan pertama kali memang dirinya terbangun dalam keadaan memeluk atau dipeluk Derren. Tapi muka tenang Derren di saat tertidur selalu membuatnya gugup. Ia terlihat, eng, tampan? Apalagi tahi lalat kecil yang ada di dekat lubang hidung Derren, terlihat menggemaskan. Ia juga baru menyadari Derren memiliki tahi lalat itu setelah menikah.

Biya menggeleng, apa-apaan otaknya pagi ini. Sepertinya ia harus segera mandi agar kembali sadar.

"Nanti dulu Biy, sekarang masih jam 3." Gumam Derren saat Biya akan bangun. Pemuda ini sekarang balik memeluknya.

"Kamu udah bangun?"

"Hmm, sejak kamu liatin ketampananku tanpa kedip."

"Dihh, mana ada." Derren semakin mengeratkan pelukannya.

"Dinginn," gumam pemuda itu masih dengan mata terpejam.

"Aku mau jemput umi pagi ini Der,"

"Sama Gibran?" Biya mengangguk.

"Sama Bila juga." Lanjut Biya karena kemungkinan besar Derren tidak akan mengizinkan jika hanya berdua dengan Gibran.

"Bila nggak sekolah?"

"Ini hari Sabtu kalau kamu lupa." Derren mendesah lelah hanya karena membayangkan cafe yang ramai di akhir pekan. Pasti nanti ia akan pulang molor.

"Weekend ya, jangan tunggu aku kalau pulangnya molor. Kafe pasti ramai."

"Aku boleh ikut ke kafe?"

"Tumben, biasanya aku ajak gamau. Bahkan kalau ada temen yang ngajak ke sana juga kamu tolak."

"Sebenernya males aja soalnya pegawai disana semua kenal aku Der, jadi nggak enak karena mereka merasa diawasi, padahal aku cuma mau nongki bukan sidak pegawai." Derren terkekeh.

Dulu, sebelum kerja disana, pegawai kafe juga memberikan perlakuan yang sama seperti yang diceritakan Biya. Membuat kurang nyaman memang.

"Terus hari ini kenapa mau ikut?"

"Pengen nyobain menu baru, kata ayah signature dish kamu rilis hari ini kan."

Derren mengangguk, ia tersenyum bangga sekaligus tersentuh karena Biya mengetahuinya. Padahal Biya tipe yang sangat sangat tidak mau tau soal kafe yang notabene usaha orang tuanya.

"Senang?" Tanya Biya.

Derren mengangguk, menarik Biya agar lebih merapat ke tubuhnya.

"Akhirnya, lolos seleksi juga. Padahal aku pikir harus buka restoran atau kafe sendiri agar punya signature dish."

"No debate sih kalau kamu emang jago di dapur. Dan kamu berusaha mengembangkan skill itu, nggak sekadar bakat turunan dari papa. So you deserve it."

"Thank you."

***

"Kakak sendiri?" Tanya Aya saat Biya memasuki rumah.

"Iya Nda, Derren di kafe." Jawab Biya setelah menyalami bundanya.

"Bayu ada nggak, Nda?"

"Di kamar tuh, nggak mau turun dari tadi. Abang lagi ada masalah kah?" Biya tersenyum tipis menanggapi pertanyaan bundanya.

"Lagi galau, Nda."

Aya mengernyit, galau? Tumben sekali putranya galau.

"Kenapa emang?"

"Nanti Bayu pasti cerita kok, Nda. Biya ke atas dulu ya. Ini makan siang Bayu kan? Biar sekalian Biya yang bawain."

Jika biasanya Biya asal masuk tanpa mengetuk pintu, kali ini ia mengetuk pintu dengan kaki. Sebab tangannya membawa nampan jadi tidak memungkinkan untuk membuka pintu sendiri.

B [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang