B 18

3.4K 283 6
                                    

"Gue liat-liat perut lo makin buncit ya Biy?" Dengan cepat Biya mengenakan kembali kardigan yang tadi dilepas saat wudhu.

"Lo sih jarang olah raga. Makanya kalau gue ajak lari jangan nolak."

"Lo berburu cogan bukan lari." Koreksi Biya.

"Seenggaknya sambil berburu gue bakar lemak." Sahut Aida tak mau kalah.

"Seblak yuk, udah lama kita nggak makan seblak."

"Eng, lo aja deh. Gue nggak makan pedes-pedes."

"Gaya bener, lo lebih gila sama makanan pedes dibanding gue kalau lupa."

"Sebulan lalu gue abis opname kalau lo lupa."

"Oh iya, yang nggak masuk seminggu itu ya. Lo kenapa sih?"

"Eng, gue duluan ya. Mau nyamperin Bayu." Kata Biya tak mau menjawab pertanyaan Aida dengan kebohongan.

"Tumben lo nyamperin?"

"Mau sekalian ke rumah tante sama Ayah juga."

"Oh sama pak dekan juga. Gue anter aja deh, lumayan juga jalan sampe fakultas Bayu siang-siang panas gini."

"Ehehe nggak nolak. Pengertian banget emang lo."

***

"Biya nggak makan?" Biya menggeleng dengan senyum sopan untuk menjawab pertanyaan tantenya. Ia hanya tak mau memaksa makan dan berujung muntah seperti biasa. Tidak ada Derren disini, tidak ada jaminan ia bisa menelan makanan dengan selamat.

"Dikit aja Biy, tante sendiri lho yang masak." Ucap Ais menuangkan nasi dan sayur kemudian diberikan ke Biya.

Aldi, Aya, Bayu, dan Bila kompak menatapnya. Ia balik menatap Bayu minta pertolongan.

"Ayo Biy, dicoba. Bayu aja udah nambah tuh."

Baiklah, mungkin satu suap akan aman.

Atau tidak.

Terbukti Biya yang berlari ke kamar mandi saat ini. Dengan sigap Bayu menyusul kembarannya.

"Eh kok? Nggak ada yang salah kan dari masakanku?"

"Maaf ya tante, Biya nggak bisa," ucap Biya menjauhkan piring yang baru berkurang satu suap begitu kembali dari kamar mandi.

"Kamu nggak apa Biy? Malah kayak orang hamil aja, muntah kalau makan." Semua terdiam.

"Kamu nggak lagi hamil kan kak?" Tanya Ais curiga.

"Nggak mungkinlah sayang, mungkin perutnya masih belum stabil. Om denger kamu sempat rawat inap juga ya?" Biya mengangguk. Tapi ia tetap gugup karena tantenya masih memberikan tatapan curiga.

"Yaudah, kamu mau tante buatin apa?" Kata Ais meski masih dengan raut curiga.

"Nggak usah tante, Biya minum ini aja."

***

"Kenapa?" Bisik Bayu di perjalanan pulang. Biya menggeleng dengan senyum paksa. Sebagai kembaran, Bayu tahu saudarinya tidak baik-baik saja. Tapi untuk saat ini ia hanya bisa menggenggam erat tangan Biya dan menarik kepala perempuan itu agar bersandar di bahunya.

"Eh Mama Papa?" Tanya Bila melihat Dhea dan Tama yang duduk di kursi teras rumah mereka.

"Hati-hati dek," peringat Aldi saat Bila turun mobil dengan terburu-buru.

"Gimana keadaan kakak?" Tanya Dhea setelah kedua keluarga saling menyapa.

"Tidak buruk," jawab Biya sekenanya.
"Derren bila-"

B [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang