◇◇◇
Rinai hujan masih setia menemani malam yang kelam di tanah Bandung saat itu. Tanah basah dengan aromanya yang khas masih pula menemani para insan. Salah satunya adalah Dewa yang justru menemukan seorang anak SMP yang ternyata menjadi korban palak anak-anak nakal berseragam SMA. Entah sekolah mana, yang jelas mereka hanya teridentifikasi melalui seragam sekolah yang sama dengan Dewa, yakni putih-abu.
"Ternyata Abang orang baik, gue kira bukan. Solanya Abang nyerang orang kaya A Saga, Aneh jadinya."
Dewa berdecih pelan mendengar nama itu, memuakkan.
Mereka hanya duduk bersebelahan di kursi besi yang tersedia di pinggir trotoar. Melihat orang-orang yang sibuk berlalu lalang dengan urusannya masing-masing. Tidak peduli dengan air yang terus menetes dari langit, pikirnya hanya gerimis kecil––bukan masalah besar.
"Ngomong-ngomong, makasih ya, Bang udah nolongin gue."
"Lain kali nggak usah lewat situ."
"Udah tahu kayak gini, mana mungkin gue mau."
Sejenak hanya keheningan yang meliputi keduanya. Mereka sama-sama tak memiliki topik pembicaraan lagi setelah Dewa tak menyahuti perkataan terakhir Aditya. Akan tetapi, terus terdiam bukanlah gaya Aditya. Anak itu pun mencoba membuka topik baru, meski sedikit canggung
"Oh ya, kenalin, gue Aditya Bang." Aditya mengulurkan tangannya yang semoga saja dapat dijabat erat oleh yang lebih tua.
"Dewa," jawabnya tanpa membalas uluran tangan Aditya.
Anak SMP itu menghela napas seraya menatap uluran tangannya yang tak terbalaskan. Ia pun menarik kembali tangannya, tidak masalah. Ia mengerti hanya melihat dari raut muka Dewa yang sepertinya tengah dilanda masalah.
"Gue laper nih, mau ngikut nggak Bang? Deket sini ada yang jualan mi ayam ngeunah pokoknya. Gue yang traktir deh anggap aja balas budi yang barusan." Aditya menatap Dewa dengan senyuman lebarnya, semoga saja dengan menawarkan makan, suasana hati cowok itu jadi lebih baik.
Lama Dewa tak menyahuti, hingga pada akhirnya mengangguk menyetujui ajakan tersebut. Lantas segera bangkit, membuat Aditya tersenyum semakin lebar. Keduanya pun berjalan beriringan menuju jalan di ujung sana yang kata Aditya ada penjual mi ayam super enak.
"Di lihat dari romannya sih, Abang lagi patah hati nih. Di putusin Bang?" tanyanya di sela perjalanan mereka.
Dewa melirik ke arah Aditya yang ada di sampingnya, dengan tatapan tajam. "Sok tahu lo, bocil. Nggak usah nanya-nanya, gue nggak suka berbagi cerita."
Aditya terkekeh, hingga keduanya pun tiba di kedai mi ayam yang Aditya maksud.
"Mas, dua porsi, ya?" pesan Aditya yang langsung mendapat respon hangat dari si penjual.
Lantas setelah itu, keduanya memilih bangku di ujung dekat jendela. Agaknya sisi jendela memang menjadi tempat paling favorit sejuta umat. Karena dari sanalah kita bisa melihat dunia luar yang indah, mungkin.
"Kata Teteh gue nih, Bang, kalo lagi galau mending makan pedes. Biar rasa sakitnya teralihkan."
Dewa menatap Aditya yang mengaduk-aduk sambal sebelum akhirnya pesanan mereka datang.
"Teteh itu apaan? Gue lupa," tanya Dewa penasaran. Aslinya ia tidak mengerti, bukan lupa. Hanya menjaga harga diri saja.
"Kakak perempuan gue, ampun. Abang bukan asli Bandung, ya?" jawab sekaligus tanyanya sambil menuang sambal cukup banyak.
"Emang lo nggak lihat muka bule gue?"
"Hahaha sorry Bang, kalo malem gini penglihatan gue suka remang-remang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sagara [Revisi]
FanfictionSagara pernah bilang, katanya dia tidak membenci takdir yang sudah meluluhlantakkan perasaannya. Hanya saja, dia benci pada dirinya yang sulit menerima takdir tersebut. Katanya, Sagara hanya ingin keadilan. Namun, mengapa ketika keadilan itu datang...