◇◇◇
Sang waktu masih terus berputar sebagaimana mestinya. Tak peduli jika para makhluk bumi belum siap menyambut waktu yang akan datang. Entah itu esok, lusa, atau bahkan hari ini. Sama seperti Saga, di mana ia harus memulai pekerjaannya mempersiapkan ini dan itu untuk keperluan acara sekolah—pensi. Ia mulai menghilang dari kelas seperti dulu, dengan alasan dispen.
Kali ini sepulang sekolah semua anggota OSIS termasuk Saga, melaksanakan rapat kepanitiaan. Berlangsung selama kurang lebih 2 jam, rapat itu akhirnya dibubarkan setelah diskusi dapat disimpulkan hasilnya, dan semua anggota sudah mendapat tugas masing-masing.
"Mulai Senin aja deh, Ga. Sekalian cariin sponsor juga biar makin banyak. Gue enggak terlalu yakin sama si Robi dan temen-temennya itu. Terus jangan lupa lo bikin proposal sama laporannya juga. Gue tunggu secepatnya. Lo tahu Karina pasti sibuk bantu gue, jadi jangan harap dia bakal bantu lo banyak."
Karina merupakan sekretaris 2 dalam kepanitiaan pensi kali ini, sementara Saga sekretaris 1. Namun, Kamal justru menyeret Karina untuk membantunya agar Saga bekerja sendirian. Sepertinya Kamal memang sengaja merepotkannya, karena ini merupakan pekerjaan terakhirnya di OSIS.
Saga tak bergeming, ia hanya membereskan alat tulisnya dalam diam. Sampai akhirnya, kegiatannya selesai dalam waktu singkat. Ia melirik langit melalui jendela yang mulai berubah warna. Sebentar lagi senja dan ia harus segera pulang sebelum Indah melontarkan banyak pertanyaan. Pemuda itu menyampirkan tali tas dipundaknya.
"Iya, gue paham. Enggak perlu lo kasih tahu lagi, permisi." Saga tak peduli kalau sikapnya mungkin kurang sopan. Namun dibandingkan ia protes dan berakhir adu mulut, akan lebih baik jika ia mengalah dan pergi.
Kamal yang melihat kepergian Saga pun menghela napas panjang. Tak lama pintu ruangan kembali terbuka. Bukan Saga, melainkan Dean yang muncul bersama dengan senyuman simpulnya.
"Aing kira siapa," sahut Kamal seraya duduk kembali. Wajahnya terlihat masam. Mungkin karena sikap Saga yang cukup membuatnya jengkel. Sementara itu, Dean pun duduk di hadapan Kamal.
"Gimana? Lo udah kasih si Saga pelajaran kan? Aing kesel banget sama dia, anjir."
"Hahah, lagian maneh kok bego. Bisa-bisanya dibohongin sama dia?"
"Enggak usah ketawa lo, ya!"
"Oke oke, lo tenang aja. Gue udah kasih dia kerjaan, enggak langsung banyak sih, tapi ngalir aja. Pelan-pelan pasti gue bikin bebannya makin banyak. Bukan apa-apa sih, gue juga lagi kesel sama dia, udah tahu kerjaan mulai banyak, malah mau resign."
"Gila lo Mal? Gimana kalau anak itu tumbang? Lo juga yang bakal repot." Tahu-tahu Lintang sudah ada di sana dan menyahuti perkataan Kamal. Membuat kedua orang itu memutar bola matanya malas. Malas melihat perilaku Lintang yang seolah peduli pada saudara tirinya itu, padahal nyatanya tidak. Atau mungkin sebaliknya. Atau mungkin juga Lintang hanya kasihan pada Saga. Entahlah.
"Bodo amat Lin, lagian kan dia udah gede. Harusnya dia bisa jaga diri, mau sesibuk apa pun kalau dia pandai bagi waktu, gue rasa enggak masalah."
Lintang mendengkus kesal melihat kekeras kepalaan Kamal, dan tawa ringan Dean. Seolah apa yang mereka lakukan bukanlah hal sepele. Lintang sandiri tidak tahu kenapa ia bisa sepeduli itu pada Saga. Memang benar jika Lintang peduli pada Saga itu fakta, sebab ia merasa bersalah.
Awalnya, Lintang hanya membantu Damar untuk memberitahukan segala sesuatu tentang Saga di sekolah, meski tak banyak yang ia ketahui. Lama-lama, Lintang sendiri jadi penasaran pada sosok adik tirinya itu. Hingga akhirnya ia tahu, bahwa Saga tak pernah baik-baik saja. Lintang merasa bersalah karena ia dan ibunya sudah nengambil figur seorang ayah dari pemuda tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sagara [Revisi]
Fiksi PenggemarSagara pernah bilang, katanya dia tidak membenci takdir yang sudah meluluhlantakkan perasaannya. Hanya saja, dia benci pada dirinya yang sulit menerima takdir tersebut. Katanya, Sagara hanya ingin keadilan. Namun, mengapa ketika keadilan itu datang...