◇◇◇
Malam itu, dengan perasaan campur aduk, Saga memarkirkan motornya di depan sebuah restoran yang dulu sering Saga kunjungi sewaktu kecil, tentunya bersama Indah dan Damar ketika mereka masih akur.
Bisa ia lihat kalau mobil Damar sudah terparkir apik di sebelah motor Saga. Itu artinya lelaki paruh baya itu serius untuk mengajaknya mengobrol. Seketika ia merasa canggung dan gugup. Tangannya bahkan sudah terasa dingin dan berkeringat. Entahlah, perasaannya selalu sama jikalau ia menapaki restoran tersebut. Banyak sekali momen keluarganya ketika masih dalam keadaan harmonis. Setiap Saga ulang tahun, atau kedua orang tuanya yang berulang tahun, mereka pasti merayakannya di sana.
Kaki Saga sudah menapaki area dalam. Matanya sibuk memindai setiap meja, barang kali ayahnya ada di lantai satu. Namun sayang, ayahnya tak ada di sana. Ia pun segera mencari ponselnya, kemudian menelepon sang ayah.
"Di atas? Ya, udah Saga ke atas sekarang Pak."
Setelah menutup panggilan, Saga segera menaiki tangga untuk menghampiri ayahnya. Sesampainya di sana, ia hanya melihat sang ayah yang sedang menatap sebuah poto dalam genggamannya. Semakin dekat, Saga bisa melihatnya dengan jelas kalau itu adalah poto dirinya ketika masih balita. Tiba-tiba Saga merasa matanya memanas kemudian berair, apa lagi ia juga bisa melihat bahwa punggung ayahnya naik turun dan sesekali tangannya mengusap matanya——Damar menangis. Sangat jelas dengan adanya tissue yang ada dalam genggamannya.
"Pak?"
Damar tersentak, ia segera menyimpan poto itu lalu membuang tissue nya. Senyuman itu merekah seiring dengan Saga yang mulai mendudukkan dirinya di kursi yang berseberangan dengan sang ayah.
"Tempat ini masih sama ya, Nak?"
Keheningan yang sempat membelenggu keduanya, pun terpecahkan oleh suara Damar yang terkesan lembut ketika menyapa gendang telinga Saga. Sungguh, Saga sangat merindukan ayahnya ini.
"Iya Pak. Saga ... seneng banget bisa ketemu Bapak. Makasih ya, Pak, udah luangin waktunya buat Saga."
Seketika tawa Damar menggema di telinga Saga. Pria itu tampak terkekeh mendengar penuturan sang anak.
"Sama-sama. Bapak juga suka kangen sama anak Bapak yang satu ini, padahal dulu terakhir kita ke sini, kamu masih bisa Bapak gendong. Sekarang tingginya aja udah ngelebihin Bapak. Hebat ya, ibu kamu udah besarin kamu sendirian, dengan sangat baik pula."
Akhirnya, Saga bisa tertawa lepas di depan ayahnya. Tanpa beban dan tanpa perasaan gugup. Entah mengapa, sejak ia mendudukkan diri di sana, perasaan takut dan canggung itu seolah rontok begitu saja.
"Ibu hebat banget Pak, tapi bakalan lebih hebat lagi kalau ada Bapak di samping Ibu."
Damar menghela napas berat. Ia pun menganggukkan kepala, seolah membenarkan apa yang baru saja Saga katakan.
"Maafin Bapak ya, Nak."
Saga menyunggingkan senyumnya. "Enggak apa-apa Pak. Semuanya udah jadi garis takdir. Sebagai manusia, kita cuma bisa menjalankan apa yang udah Allah tuliskan. Itu kata Bapak 'kan sebelum Bapak ninggalin Saga dulu?"
Sekali lagi, Saga melihat ayahnya mengangguk pasti, dengan diiringi senyuman hangatnya. Namun tak lama, perbincangan itu harus terjeda sebab sang pelayan baru saja tiba dengan membawa menu makanan yang sudah Damar pesan sebelum Saga tiba di sana.
"Makan dulu, ini kesukaan kamu 'kan? Abisin ya, Bapak lihat badan kamu makin kurus aja." Damar memberikan sepiring sapi panggang ke hadapan Saga.
Kalau dulu Saga akan memekik kegirangan sambil bertepuk tangan setelah Damar memberikan menu tersebut, kini Saga hanya bisa tersenyum lebar dan mengucapkan terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sagara [Revisi]
FanfictionSagara pernah bilang, katanya dia tidak membenci takdir yang sudah meluluhlantakkan perasaannya. Hanya saja, dia benci pada dirinya yang sulit menerima takdir tersebut. Katanya, Sagara hanya ingin keadilan. Namun, mengapa ketika keadilan itu datang...