◇◇◇
Alunan musik jazz sore itu seakan mengiringi langkah Saga. Ia berjalan menuju lantai atas sebuah cafe yang menjadi tempat ia mencari uang tambahan selama 2 tahun belakangan ini. Ada sejumput rasa keraguan dalam benaknya. Meski begitu, Saga tetap memberanikan diri untuk mengetuk pintu ruangan Eza secara perlahan.
"Masuk." Eza menyahuti dari dalam.
Saga menghela napas, guna menetralkan rasa gugup yang sedari tadi menguasai dirinya.
"Eh Ga, kamu ternyata." Eza menyahut saat tahu siapa yang baru saja datang ke ruangannya.
"Iya Kang, maaf baru dateng lagi."
Eza menutup laptop, lalu menghampiri Saga yang berdiri di samping sofa. Pria itu pun menyuruh salah satu karyawannya itu untuk duduk, seiring dengan dirinya yang juga ikut menjatuhkan diri diatas benda empuk tersebut.
"Empat hari kamu teu aya kabar, ka mana wae atuh kasep?"
Dari pertanyaan Eza, Saga paham kalau bosnya itu, mungkin sedikit jengkel, sebab dirinya yang tak bertanggung jawab atas pekerjaannya selama beberapa hari ini. Percayalah, sebaik-baiknya seorang Eza, dia juga termasuk ke dalam jajaran orang yang memiliki sifat perfeksionis.
"Maaf Kang, kemaren Saga sakit sampe harus di rawat. Saga juga minta maaf, karena nggak ngasih kabar."
Eza mengangguk paham. "Kambuh lagi, Ga? Sekarang masih sakit?" Sedikit banyak, Eza paham betul bagaimana kondisi Saga. Baik itu kesehatan, finansial, bahkan keluarganya yang retak.
"Udah mendingan, Kang. Alhamdulilah."
"Oh syukur atuh. Tapi Ga, lain kali kalo saya telepon teh diangkat. Takutnya ada apa-apa, khawatir saya teh."
Saga tersenyum kikuk. Baru kali ini ada yang mengakatakan khawatir padanya secara gamblang, selain Indah. Mereka memang sedekat itu. Bahkan tak jarang kedekatan mereka menimbulkan kecemburuan bagi karyawan lain. Eza itu anak tunggal, karenanya saat melihat Saga 2 tahun lalu, ia merasa bahwa ia menemukan sosok adik dalam diri Saga.
Kala itu, di saat adzan maghrib hendak berkumandang, Eza justru kehabisan bahan bakar di sebuah jalan yang lumayan sepi. Beruntung Saga yang baru pulang sekolah melewati jalan tersebut. Melihat seseorang kesulitan, tentu saja ia tak tinggal diam. Ia pun membantunya membelikan bensin. Setelahnya mereka menunaikan solat maghrib bersama di mushola yang letaknya tak jauh dari sana. Dari situlah keduanya dekat, hingga Saga meminta bantuan agar Eza mempekerjakannya di cafe milik pria tersebut.
"Tapi Kang, Saga kayaknya mau resign aja."
Eza membulatkan matanya. "Lah, kunaon?" tanyanya. Ia tak menyangka kalau Saga akan mengundurkan diri secepat itu. Eza tak mau kehilangan karyawan rasa adik seperti Saga. Bukan tanpa alasan Eza menyukai Saga, cara kerja anak itu cukup memuaskan, ditambah sikapnya yang ramah, juga visualnya yang mendukung. Eza akui, sejak adanya Saga, cafe jadi sedikit lebih ramai. Terutama di saat weekend, banyak para remaja terutama gadis-gadis yang berkunjung ke sana.
"Ya, mau gimana lagi Kang, kesehatan lebih penting kan?"
Eza menghela napas berat. Sebenarnya ia tak rela, tetapi ia tidak bersikap egois. Tidak mungkin ia menahan Saga hanya demi kepentingannya sendiri. Maka dengan berat hati, Eza pun mengangguk seraya tersenyum hangat. Ia pun bangkit, lantas menepuk pundak Saga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sagara [Revisi]
FanfictionSagara pernah bilang, katanya dia tidak membenci takdir yang sudah meluluhlantakkan perasaannya. Hanya saja, dia benci pada dirinya yang sulit menerima takdir tersebut. Katanya, Sagara hanya ingin keadilan. Namun, mengapa ketika keadilan itu datang...