Malam itu, setelah Dewa mengantar Nadine bertemu sang ayah, nyatanya menjadi duka tersendiri baginya. Bagaimana ia melihat Nadine yang terus menangis sambil bercerita bahwa dirinya bukanlah anak kandung dari ayah yang selama ini merawatnya. Nadine mengaku putus asa. Ia sudah berusaha tegar selama ini, tetapi sepertinya semesta memang masih belum berpihak kepadanya.
"Pantes aja selama ini, Mama sama Ayah tuh, sering berantem."
Dewa yang mendengarnya hanya mengangguk lalu mengusap punggung Nadine. Mereka kini sedang berada di sebuah kedai es krim. Dewa pikir, dengan memakan makanan manis dan dingin itu, kesedihan Nadine akan berkurang. Namun tidak, gadis itu nyatanya tak menyentuh es krimnya sama sekali, dan kini hanya dibiarkan mencair begitu saja.
"Udah Din, masa lo mau nangis sampe pagi? Udah jam sepuluh nih, Adit udah teleponin lo dari tadi, dia juga ngechat ke gue nih. Gue mesti jawab apa coba?"
Nadine menatap ponsel Dewa, kemudian menghela napas seraya mengusap wajahnya yang sudah sembab karena air mata. Tak lama ponsel Dewa kembali mendapat panggilan dari Aditya.
"Hallo Dit? ... Iya ini Teteh lo sama gue kok. Lo tenang aja bentar lagi balik ... Iya ah, bawel! Entar gue beli satenya sama gerobaknya kalau perlu ... Iya, bye." Dewa memutus panggilan tersebut.
"Yuk pulang? Eh tapi bentar deh, lo tunggu di sini ya, gue beli sate dulu buat adek lo." Tanpa menunggu jawaban Nadine, Dewa segara berlalu membeli sate. Beruntung jarak tukang sate dan tempat mereka singgah tidak terlalu jauh. Jadi Dewa tak perlu membuang waktu terlalu banyak.
Nadine menatap punggung lelaki itu yang kian menjauh. Ia menyunggingkan senyuman tipisnya. Rasanya ia harus banyak bersyukur, sebab masih ada Dewa yang menemaninya malam ini. Tatapannya kini beralih pada ponsel yang sejak tadi ia biarkan tergeletak di atas meja. Ia pun mengambilnya lalu membuka aplikasi whatsapp. Di sana terdapat beberapa penggilan juga pesan yang Adit sampaikan, juga beberapa pesan dari sang ayah yang meminta maaf, lagi. Namun fokus Nadine kini tertuju pada salah satu pesan yang Saga kirimkan. Ia lalu membukanya. Melihat ruang pesan itu, malah membuatnya mengingat kejadian tadi sore.
"Kamu teh sakit apa sih, Ga? Sampe enggak bisa ngabarin. Mana chat cuma di baca doang. Harusnya kabarin atuh dari awal." Nadine kembali menggerutu dan malah kembali menitikkan air matanya. Ia kembali terisak pelan, lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas tanpa membalas pesan permohonan maaf dari lelaki tersebut. Mungkin karena ia yang terlalu berharap lebih pada Saga, maka sekali mendapat kekecewaan, rasanya begitu menyakitkan.
"Hadeuh malah nangis lagi. Lo mau muka lo jadi lebar gara-gara nangis?" kata Dewa yang baru kembali dari membeli satenya barusan.
"Lebar? Enak aja! Hayu ah, pulang." Nadine bangkit sambil merapikan rambut juga mengusap jejak air matanya.
"Serius muka lo jadi lebar, ngaca entar di spion."
Nadine tak menggubrisnya, ia hanya berlalu meninggalkan Dewa menuju parkiran dengan wajah murungnya. Dewa mendengkus kesal. Bukan karena merasa terabaikan, melainkan kesal saat melihat Nadine yang seolah tak memiliki harapan lain. Kini lelaki itu hanya bisa manghela napas sambil mengikuti langkah Nadine menuju parkiran.
***
Hari terus berganti, sejak Senin hingga Rabu, Saga tidak memiliki interaksi baik itu dengan Dewa dan juga Nadine. Beruntung saat itu sekolah sedang libur sebab diadakannya TO kelas 12. Dan hari ini, sekolah kembali dilaksanakan. Saga harus siap menerima segala sikap yang nantinya akan ia terima dari Dewa atau pun Nadine.
"Kamu hati-hati ya, di sekolah. Kalau ada apa-apa langsung kabarin Ibu."
Saga menganggukkan kepalanya. "Kalau gitu Saga berangkat ya, Bu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sagara [Revisi]
FanfictionSagara pernah bilang, katanya dia tidak membenci takdir yang sudah meluluhlantakkan perasaannya. Hanya saja, dia benci pada dirinya yang sulit menerima takdir tersebut. Katanya, Sagara hanya ingin keadilan. Namun, mengapa ketika keadilan itu datang...