Sagara-9

1K 148 8
                                    

◇◇◇

Ketika Minggu pagi menyapa, Dewa tidak akan langsung bangun seperti hari-hari biasa. Ia akan lebih bermalas-malasan dan bahkan memilih tidur seharian.

Di Kota Bandung ini Dewa merasa tak punya semangat hidup. Lain dengan di Jakarta. Walau teman-temannya tak cukup tulus, tetapi mereka cukup untuk menghibur Dewa selama ini. Kebanyakan dari mereka memiliki latar belakang sama sepertinya, broken home yang mengakibatkan pada kenakalan remaja pada umumnya.

Pintu kamar Dewa tak pernah dikunci, alasannya karena pemuda itu cukup penakut pada hal-hal yang berbau mistis. Ardian membuka pintu kemudian memasuki kamar sang anak lebih dalam lagi. Ia mengembuskan napas panjang ketika mendapati sang anak masih tertidur pulas, padahal jam sudah menunjuk angka 7.

"Aksa bangun, ini udah jam tujuh!" serunya sambil menggoyangkan tubuh Dewa yang terbalut selimut tebal. Katanya, Bandung itu cukup nyaman karena cuacanya lebih sejuk. Tidak seperti Jakarta yang selalu panas dan sesak akan polusi.

"Aksa! Ayo bangun, Nak. Cepat mandi kita mau sarapan sama Indah."

Dewa melenguh pelan, ia menggeliat lalu membuka matanya perlahan.

"Indah tuh siapa, Pa?" tanyanya yang kini sudah sepenuhnya tersadar dari alam mimpi meski ia masih berbaring di kasur.

"Calon Mama kamu yang waktu itu Papa kenalin, masa udah lupa sih, Sa? Ayok bangun terus mandi, jangan malas-malasan." Ardian berucap sambil meninggalkan kamar Dewa.

"Ck!" decak Dewa sesaat setelah sang ayah tak terlihat lagi oleh netranya. Dengan sangat terpaksa ia pun menuruti perintahnya. Karena walau bagaiamana pun juga, ia tetaplah seorang anak yang memiliki rasa takut pada orang tua. Lebih tepatnya takut kalau semua fasilitasnya dicabut oleh sang ayah.

Sepuluh menit Dewa gunakan untuk mandi dan bersiap. Ia memilih memandang sekitar ruamhnya melalui balkon kamar dengan ditemani secangkir susu hangat buatan Ardian ketika ia mandi tadi. Dewa ingin sekali tertawa sebenarnya, ada apa tiba-tiba ayahnya itu bersikap manis padanya? Menakutkan, mengingat beliau jarang berlaku semacam itu.

Sambil menikmati hawa sejuk pagi itu, tiba-tiba netranya tak sengaja melihat sesosok yang sedang melamun di atas motornya yang terparkir di depan gerbang sana. Jika dilihat lagi, sepertinya ia mengenali motor itu.

"Itu si Saga kayaknya, ngapain itu anak nongkrong di situ?" gumamnya pada diri sendiri.

"Woy! Mau mata-matain gue lo, hah?!" teriaknya yang berhasil membuat Saga yang masih mengenakan helm mendongak ke arahnya. Saga sempat menatapnya sekilas sebelum akhirnya pergi begitu saja.

"Cih, aneh banget tuh orang," cibirnya.

"Den Aksa kata Bapak ayok turun, sarapannya udah mau mulai!"

Dewa memutar bola matanya malas. Terpaksa ia harus meninggalkan kamarnya dan bergegas menuju ruang makan setelah pembantunya menyeru.

"Saga kenapa nggak diajak?" tanya Ardian.

Indah terdiam sejenak sebelum ia menjawab pertanyaan tersebut.

"Semalam dia bergadang. Karena kerja paruh waktunya, dia nggak sempet ngerjain tugas sekolah. Aku suruh dia istirahat aja."

Ardian mengangguk. "Kita harus secepatnya menikah dan suruh dia berhenti kerja," sarannya.

Indah hanya mengangguk lalu matanya tak sengaja bersitatap dengan Dewa yang baru saja tiba. Beruntung percakapan mengenai Saga sudah selesai sehingga Dewa tak dapat mendengarnya. Indah tersenyum hangat dan Dewa hanya memalingkan wajah.

Sagara [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang