◇◇◇
Mulai detik ini, Saga dan ibunya sudah resmi tinggal satu atap dengan Dewa dan Ardian. Ada perasaan senang dan benci yang sekaligus Dewa rasakan. Ia senang karena rumah tidak lagi terasa sepi, tetapi ia juga benci menerima kenyataan kalau mulai saat ini, ia juga harus berbagi segalanya dengan Saga. Dewa hanya takut kalau perhatian Ardian akan lebih mendominasi untuk Saga. Padahal, Dewa sendiri juga baru bisa merasakan kasih sayang Ardian yang sesungguhnya belakangan ini.
Berbeda dengan Saga yang memang terlihat santai. Sepertinya lelaki itu menikmati alur hidupnya dengan baik. Seperti saat ini, Saga sedang menata kamarnya yang tak jauh dari kamar Dewa. Ardian sendiri meminta tolong putra sulungnya itu untuk membantu adik barunya, guna membereskan kamar. Sementara yang dimintai tolong hanya menatap malas ke arah Saga tanpa niatan untuk membantu sama sekali.
"Lo enggak pegel lihatin gue doang? Enggak ada niatan buat bantuin, gitu? Papa nyuruh lo ke sini tuh, buat bantuin gue, bukan nontonin gue."
Dewa tertawa remeh. Ia menegakkan punggungnya sambil menatap ke arah Saga yang sibuk mengganti spreinya dengan yang baru. "Kalau tangan sama kaki lo masih bisa berfungsi dengan baik, buat apa gue bantuin? Kecuali kalau lo cacat, baru gue bantuin."
Saga hanya menanggapinya dengan kekehan, tak ada niatan untuk membalas. Ia hanya fokus pada pekerjaannya saja. Setelah selesai, Saga pun mendudukkan dirinya di atas kasur dan menatap Dewa.
"Dew, gue enggak tahu gimana perasaan lo saat ini. Rasanya gue jahat banget udah ngambil semuanya dari lo."
Mendengar penuturan Saga, Dewa yang saat itu sedang memainkan ponsel tentu bingung. Ia menatap Saga sambil mengerutkan keningnya tanpa berniat untuk menimpali. Kemudian kembali fokus pada ponselnya.
"Lo suka sama Nadine, tapi gue ambil dia dari lo. Papa lo baru aja berubah jadi lebih baik, tapi dalam waktu cepet, lo harus berbagi kasih sayang Papa sama gue. Kalau gue bilang maaf sama makasih, rasanya dua kata itu enggak akan cukup buat bales semuanya."
Dewa berdecak sebal seraya memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Kini tatapannya teralihkan sepenuhnya pada Saga. "Ck! Ya, emang. Baru nyadar lo? Kemaren-kemaren ke mana aja? Hibernasi?"
Saga tersenyum tipis. Entahlah, seburuk apapun sikap dan perkataan Dewa, Saga tak pernah bisa marah padanya. Saga percaya, bahwa sebetulnya, Dewa adalah sosok yang lembut dan penyayang.
Tak lama setelahnya, pintu kamar Saga terbuka, menampilkan sosok Ardian yang memasuki kamar itu lebih dalam disertai dengan senyuman khasnya. "Lagi ngobrolin apa, hm?" tanyanya dengan pandangan memindai kedua putranya.
"Yang pasti bukan gibahin Papa kok."
Jawaban Dewa telak membuat tawa Ardian mengudara, pun dengan Saga yang sudah berdiri di samping ranjang sejak kedatangan Ardian. Anak itu hanya masih sungkan dengan ayah barunya itu. Karenanya, sebisa mungkin Saga harus bersikap sopan. Kalau tidak, mungkin nanti dia bisa dikatai tidak tahu diri.
"Kamu kenapa berdiri gitu sih, Ga? Santai aja, mulai sekarang kita ini keluarga. Rumah ini, rumah kamu juga. Jadi enggak perlu sungkan lagi. Atau kalau ada apa-apa bilang, butuh apa-apa bilang, ya?"
Dengan sedikit keraguan, Saga menganggukkan kepalanya. "Mm ... makasih banyak, Pa." Hanya kata itu yang mampu terlontar dari mulut Saga.
Dewa yang melihat interaksi kedua orang itu pun mendelik kesal. "Dulu Papa enggak kayak gitu sama aku. Sekarang sama Saga manis banget, ck!"
Tatapan Ardian teralihkan sepenuhnya pada putra sulungnya itu. "Kamu cemburu? Iya, Papa minta maaf kalau dulu Papa lebih banyak cuekin kamu. Tapi Papa janji, mulai sekarang Papa bakal berubah. Papa bakal turutin semua permintaan kamu sebagai gantinya, tapi permintaannya yang wajar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sagara [Revisi]
FanfictionSagara pernah bilang, katanya dia tidak membenci takdir yang sudah meluluhlantakkan perasaannya. Hanya saja, dia benci pada dirinya yang sulit menerima takdir tersebut. Katanya, Sagara hanya ingin keadilan. Namun, mengapa ketika keadilan itu datang...