◇◇◇
Kalau saja sempat Dewa hitung berapa kali ia menguap, sudah pasti jumlahnya akan lebih dari 10 kali. Sebab rasa kantuk yang mendera matanya sejak jarum jam menunjuk angka 12. Dewa terpaksa terjaga semalaman karena Saga yang ia temukan tadi malam sudah hampir kehilangan napas. Asmanya sangat kejam hingga membuat laki-laki seusianya itu harus mendekam di UGD selama dua jam lamanya. Hingga pukul 1 dini hari tadi, barulah Saga diperbolehkan pulang sebab paru-parunya sudah membaik.
Namun, Dewa belum juga bisa bernapas lega. Setelah tiba di rumah, entah mengapa Saga malah demam yang membuat Dewa kerepotan menjaganya hingga adzan subuh berkumandang.
"Ah gue lupa ngabarin Nadine. Tuh anak pasti ketiduran nungguin gue ngasih kabar." Dewa bergumam seraya mengecek ponselnya. Memang benar dugaannya, Whatsapp Nadine masih berstatus online, tetapi saat Dewa telepon, justru tidak di angkat.
"Ck, beneran ketiduran kayaknya." Setelah menghela napas berat, Dewa mematikan panggilan dan memilih mengirimkan pesan.
Pandangannya kini teralihkan pada Saga yang menggeliat di balik selimut tebal yang membungkus tubuhnya. Lelaki itu terbangun dan langsung mendudukkan diri seraya memijat pelipis. Saga merasa kepalanya berat dan pandangannya berputar. Ia menoleh sambil menyipitkan matanya.
"Dew? Ssh, jam berapa ini? Gue ngerasa tidur lama banget."Dewa mendengkus seraya mendekati Saga dengan termometer di tangan kanannya.
"Siniin ketek lo, buruan!" titahnya seraya memberikan termometer tersebut.Saga yang merasa shock pun mendadak bugar. Matanya melotot dan peningnya hilang seketika. "Lo ngomong apa sih, anjir?! Lo mau apain gue, hah?!"
"Ck! Pertanyaan lo enggak berbobot, bikin gue ambigu. Udahlah buruan siniin ketek lo! Gue mau cek lagi suhu badan lo bego!"
"Gue bisa sendiri, Mahadewa! Malu kali." Saga segara merebut termometernya dan mangeceknya sendiri.
"Hahah! Punya malu juga lo? Padahal waktu demam lo lagi tinggi-tingginya, lo manja banget anjir. Pengen dipijitin segala, pengen tidur ditemenin, lo kira ngapain subuh-subuh gini gue udah nangkring di sini?" Dewa sempat terkekeh geli saat mengingat kelakuan Saga tadi malam saat menjelang subuh.
Saga kembali melebarkan matanya. "Jadi semaleman lo jagain gue? Terus lo ngecek suhu gue di mana?"
"Ya di ketek lah, kan emang biasanya gitu."
"Anjir! Berarti lo buka-buka baju gue Dew?!"
"Najis! Kalau enggak kepaksa juga gue ogah ngurusin lo yang kayak bocah!"
Saga menunduk seraya menggaruk tengkuknya. Ia benar-benar malu jika harus bersitatap dengan mata tajam Dewa. Lagi pula, bisa-bisanya ia demam di saat ibunya tidak ada. Karena kalau dalam kedaan seperti itu, Saga kesulitan membedakan mana alam sadar dan mana alam bawah sadar.
"Udah belom? Sini gue lihat hasilnya!" Tanpa berlama-lama lagi, Dewa pun merebut termoternya dari tangan Saga.
Tiga puluh tujuh koma delapan dedajat celcius. Syukurlah, sudah ada perubahan meski tidak banyak. Sebab terakhir Dewa cek, suhu tubuh Saga berada di angka tiga puluh sembilan koma tujuh derajat celcius—demam tinggi.
"Lo enggak usah sekolah deh. Gue juga mau izin sehari. Ngantuk parah, gara-gara lo ini. Kenapa sih? Lo enggak bisa apa, jaga diri lo sendiri? Kalau lo payah jaga diri, gimana lo mau jaga Nadine?"
Saga menghela napas berat. Ia malas memikirkan masalahnya. Kepalanya sudah cukup pusing, ia tidak mau menambahnya lagi. Karena itu, kini ia kembali merebahkan diri sambil memeluk guling dan memunggungi Dewa. Masa bodoh jika saudara tirinya itu akan kembali mengoceh bagai petasan hajat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sagara [Revisi]
FanfictionSagara pernah bilang, katanya dia tidak membenci takdir yang sudah meluluhlantakkan perasaannya. Hanya saja, dia benci pada dirinya yang sulit menerima takdir tersebut. Katanya, Sagara hanya ingin keadilan. Namun, mengapa ketika keadilan itu datang...