◇◇◇
Embun pagi itu membasahi daun seperti biasanya. Bersamaan dengan burung-burung pipit yang berkicauan, hinggap dan terbang ke sana ke mari. Mentari kala itu bersinar cukup terang, kendati jarum pendek masihlah menunjuk angka enam. Cuaca cerah hari ini sangat mendukung suasana hati Ardian.
Kemarin malam sekitar pukul sambilanan, ia yang sedang dalam perjalanan pulang, pun dikejutkan dengan curhatan sang calon istri, mengenai hubungannya dengan Dewa. Saat itu, Indah dengan semangat menceritakan bagaimana polah tingkah calon putra tirinya, yang awalnya beku kemudian lama-lama mencair. Indah bahagia sekaligus terharu sampai ia terisak, membuat Ardian gemas sendiri. Rasa lelahnya hilang seketika. Ia bisa bernapas sedikit lega, sebab ada kemajuan dari sikap Dewa yang mungkin akan menerima Indah secara perlahan.
"Papa!!"
"Heh!! Bikin jantungan aja kamu nih!" tegurnya karena kaget setelah mendengar pekikan keras dari sang putra.
"Hehe, sorry Pa. Kapan Papa pulang?"
"Tadi malem. Sini Nak, makan bareng Papa." Ardian menarik kursi di sampingnya lalu menarik tangan Dewa untuk segera menduduki kursi tersebut.
Dewa tersenyum. Entah apa yang merasuki jiwa Papanya ini, sehingga beliau bisa bersikap manis layaknya seorang ayah idaman. Dewa melihat menu makanan yang tersaji. Tampak sederhana, tetapi itu semua adalah apa yang Dewa sukai.
"Papa beli nasi goreng di mana?" tanyanya sebelum melahap sesendok nasi yang dicampur telur, sosis dan ayam suwir tersebut.
"Papa bikin sendiri, enak 'kan?"
Dewa terkekeh, sedikit terkejut juga karena Papanya itu biasanya suka yang instan. Dan lagi-lagi Dewa berpikir, makhluk macam apa yang sedang bertamu ditubuhnya sehingga beliau mau repot-repot memasak untuknya.
"Enak Pa. Aku heran aja, biasanya Papa enggak mau repot, paling main beli-beli aja. Lah ini ada angin apa tiba-tiba Papa jadi baik kayak gini?"
Ardian sedikit tergelak mendengar penuturan putranya itu. Terdengar miris memang, Ardian sadar bahwa selama ini sikapnya sebagai seorang ayah terlalu kaku dan keras. Ia lupa kalau putranya juga masih membutuhkan perlakuan manisnya.
"Maafin Papa ya, Aksa. Papa sadar, dulu Papa enggak pernah punya waktu buat kamu. Makanya, mulai hari ini, Papa akan berusaha buat ganti semua waktu Papa yang hilang buat kamu. Coba kamu bilang, kamu mau apa dari Papa?"
Dewa menghela napas panjang. Inginnya ia memeluk Ardian, tetapi malu. Bayangkan saja, dulu mereka tidak pernah berbincang seperti ini. Namun sejak kepindahan mereka ke Bandung, perlahan suasana yang mulanya beku, kini telah mencair.
"Emm, aku ...."
"Apa? Bilang aja, mau liburan, mobil baru, uang jajannya ditambah, atau apapun itu selama Papa mampu, insyaAllah Papa penuhi."
Dan tanpa basa basi lagi, Dewa segera menghambur memeluk Ardian, membuat laki-laki paruh baya itu membeku ditempat, lalu sedetik kemudian ia balas pelukan tersebut. Apalagi setelah mendengar suara isakan Dewa yang tak pernah ia dengar kecuali saat ibunya meninggal. Ardian merasa bersalah dan menyesal.
"Makasih Pa. Makasih, karena Papa mau berubah buat aku. Aku enggak minta banyak, aku cuma mau minta Papa jaga kesehatan, jangan terlalu bekerja keras, karena cuma Papa yang Aksa punya sekarang."
Tetesan bening pun turun begitu saja dari matanya yang hampir menua. Entah bagaimana perasaan Ardian mendengar semua itu. Ternyata, putra nakalnya itu telah tumbuh menjadi lebih baik seiring berjalannya waktu. Dan kini ia menyesal telah melewatkan waktu tumbuh kembang itu. Ia merasa gagal jadi seorang ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sagara [Revisi]
FanfictionSagara pernah bilang, katanya dia tidak membenci takdir yang sudah meluluhlantakkan perasaannya. Hanya saja, dia benci pada dirinya yang sulit menerima takdir tersebut. Katanya, Sagara hanya ingin keadilan. Namun, mengapa ketika keadilan itu datang...