Sagara-29

990 163 43
                                    

◇◇◇

Ruangan petak dengan cahaya remang itu seakan diselimuti kabut tebal yang membatasi jarak antara Indah dan Saga.
Sudah hampir satu jam Indah berada di dalam kamar putranya itu. Namun Saga sama sekali tak menggubris keberadaan sang ibu yang telah melahirkannya tersebut. Indah sendiri merasa segan untuk terus berbicara. Niat awalnya ia ingin menyuruhnya makan malam, tetapi Saga benar-benar menulikan pendengarannya. Saga hanya diam, duduk bersandar pada kepala ranjang sambil memandang ke luar jendela kamarnya yang sengaja ia buka, membiarkan angin malam yang sejuk ikut menyejukkan jiwanya yang semula agak memanas.

Beberapa saat yang lalu, ia gagal membuat Dewa membuka pintu dan mengajaknya berdamai dengan keadaan. Yang terakhir Saga dengar adalah isak tangis pilu yang Dewa keluarkan. Hal itu membuat hati Saga semakin tersayat. Ia merasa bersalah telah menjadi penyebab kesedihan saudaranya itu. Tanpa sadar bahwa ia juga tengah terluka.

Sampai akhirnya Saga menyerah dan meninggalkan pintu kamar Dewa menuju kamarnya sendiri. Ia kecewa, merasa bersalah, dan terluka di saat yang bersamaan. Saga ikut menangis hingga dadanya sesak seakan kehilangan pasokan oksigen. Saat itu ia sadar bahwa asmanya kembali kambuh. Beruntung ia cepat menanganinya dengan segera menggunakan nebulizer sebelum kedatangan Indah.

"Saga," panggil sang ibu dengan lirih.

Mendengar suara sang ibu yang hampir menangis, tentu saja membuat Saga merasa bersalah. Pertahanannya pun hancur. Saga segera bangkit lalu menyalakan lampu utama dan mematikan lampu tidur. Hanya memastikan apakah ibunya menangis atau tidak. Dan benar saja, wajah Indah sudah basah oleh air mata. Sepertinya, diam-diam Indah menangisi keadaan ini. Saga segera memeluk Indah dengan erat.

"Maaf udah buat Ibu nangis," katanya membuat Indah menggelengkan kepalanya.

"Ibu yang harus minta maaf. Ibu banyak salah sama kamu, Ibu gagal jadi ibu yang baik. Ibu nggak bisa buat anak Ibu bahagia. Maafin Ibu sayang, maafin Ibu." Indah kembali terisak dipelukan Saga.

"Jangan nangis Bu, nanti Saga ikutan nangis. Barusan asmanya kambuh, Saga capek Bu."

Mendengar hal itu, Indah pun panik dan melepas pelukannya lalu memindai setiap inci wajah sang anak.

"Kenapa nggak panggil Ibu, hm? Sekarang gimana? Masih sesak? Mau ke dokter?"

Saga menggelengkan kepalanya seraya menurunkan kedua tangan Indah dari wajahnya. "Udah nggak Bu. Saga cuma mau istirahat, Ibu juga istarahat ya?"

"Tapi Saga belum makan, 'kan? Makan dulu yuk, Nak?"

"Dewa juga belum makan 'kan Bu?"

Indah kalah telak atas pertanyaan Saga. Pasalnya, emosi Dewa jauh lebih meledak di banding Saga. Anak itu bahkan membentak ayahnya ketika Ardian membujuknya untuk keluar kamar.

"Saga nggak laper, Ibu sama Papa jangan khawatir. Kami cuma butuh waktu buat nerima semua ini." Saga mencium kening sang ibu sebelum menuntunnya keluar dari kamar. Indah hanya pasrah, ia sadar bahwa Saga tengah menekan egonya.

"Jangan terlalu dipikirin, Nak, Ibu takut kamu drop. Ibu sayang sama Saga, maafin Ibu, ya sayang."

Saga terdiam di balik pintu. Mendengarkan tiap bait kata yang Indah lontarkan untuknya. Saga hanya ingin tidur, lalu bangun di saat ia sudah lupa dengan masalah ini. Kalau boleh Saga bernegosiasi dengan Tuhan, Saga hanya ingin bahwa ini hanyalah mimpi yang tak perlu ia pikirkan.

Saga hanya ingin hidup tenang. Rasanya sudah terlalu banyak pilu yang ia selami selama hidupnya, hingga membuatnya lelah. Kalau bisa berhenti saat ini juga, lebih baik ia berhenti saja.

Sagara [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang