05 - DI BAWAH SANG SURYA

37 6 0
                                    

Happy reading!

"Kak Ca...," panggil Parikesit menggoyangkan tubuh Basha yang tertutupi selimut.

"Hm, napa?" tanya Basha setengah sadar.

"Anterin ke kamar mandi, aku gak berani."

Nih, anak, pingin jadi TNI, tapi, kek gini aja gak berani. Ya ampun, Basha! Lo aja juga gak berani kemana-mana kalo gak ditemenin, kecuali kamar mandi.

Basha terbangun, menyingkapkan bed covernya. "Ya udah, ayok!"

"Jan ditinggal!" teriak laki-laki itu saat telah masuk ke dalam kamar mandi.

"Nggak, nggak." Basha menyenderkan badannya pada dinding. Sambil bersedekap, ia mati-matian menahan rasa kantuk yang menyerangnya saat ini dan bunyi air kloset membuat matanya sedikit terasa ringan.

Ceklek!

"Udah?"

Parikesit menyengir. "Udah, makasih, Kak Ca."

Ketukan pintu kamar hotel mencuri perhatian kedua saudara sepupu itu, terpaksa mereka harus membukakan benda persegi panjang itu. Nampak Nadindra dan Janar berdiri di sana dengan masing-masing ransel pada punggung mereka dan topi yang terpasang di kepala.

"Hm, ada apa?" tanya Parikesit bersandar pada pintu.

"Lho, Ri, Ca? Kok kalian belom siap-siap, sih?" Kini, Nadindra terlihat kaget melihat Parikesit masih mengenakan piyama biru-putih. Laki-laki itu sedang dalam keadaan setengah sadar dari tidurnya. "Jadi, gak, nih, ikut ke Bromo?"

Parikesit menaik-turunkan gerakan kuku pada tengkuknya. "Gue sama Basha gak ikut."

"Emang napa?"

"Kakinya Basha sakit kalo jalan jauh."

Nadindra dan Janar sama-sama mengerutkan dahi. "Kan, bisa dikasih salep kayak biasanya," kata Nadindra diangguki Janar.

"Gak bisa. Gak mempan." Parikesit menengok ke arah Basha yang menunduk. Wajah cantik gadis itu terhalang oleh rambutnya, namun tak ada satupun orang yang tahu mengenai isi hati dan pikiran Basha. Ia sama sekali jarang pernah terbuka pada siapapun, termasuk Parikesit. "Kalian pergi aja. Soalnya, hari ini gue mau bantuin Mbah Santoso di sawah bareng Kak Basha. Metik sawi sama wortel, itung-itung biar gak nganggur di hotel. Kakinya juga bisa dapet vitamin D."

"Bagus, tuh!" Nadindra mewakili Janar.

"Ya udah, kita pamit dulu," akhir Janar.

"Hati-hati." Parikesit menunggu Janar dan Nadindra meninggalkan kamar hotelnya. Baru selepas itu, ia akan kembali tidur atau menyaksikan acara televisi, bisa juga memainkan game di handphonenya seperti biasanya ketika menunggu restoran atau kafe milik Mamanya akan ditutup pada pukul dua belas malam.

***

"Kak Ca, bangun, Kak Ca ... Udah pagi." Parikesit menyingkirkan beberapa helai rambu yang menutupi wajah cantik Basha. Kemudian, menepuk-nepuk pelan pipi gadis itu. Setelah kepergian Nadindra dan Janar, Basha memilih tidur kembali dan Parikesit memutuskan untuk menonton acara televisi. "Hei ..., Bangun. Masih ngantuk, hm? Maaf, ya?"

Basha tak menanggapi pertanyaan Parikesit. Tangannya malah bergerak menaikkan selimut hingga menutupi setengah wajahnya dan memeluk erat guling kesayangan yang langsung diambil Parikesit dari rumahnya.

"Ka Ca ..." Basha akhirnya merespon panggilan Parikesit. Perlahan, ia membuka kelopak matanya, membiarkan cahaya memasuki retina. Mendapati Parikesit menatapnya lekat dari tepi ranjang.

PARIBASHA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang