PROLOG

82 6 2
                                    

"Apa?!"

Basha menutup mulutnya, menahan rasa keterkejutan yang melandanya. Semalam, ia tak henti-hentinya mencari keberadaan Daniel dan Shannon. Menelepon semua rekan kerja kedua orang tuanya. Namun, tak ada satupun yang mengetahui di mana mereka berada. Kini, di saat gadis itu baru saja pulang sekolah usai ekstrakurikuler paduan suara telah berakhir, ia malah mendapatkan kabar buruk dari salah satu rumah sakit yang berada di Pare, Jawa Tengah, bahwa kedua orang tuanya telah meninggal dunia diakibatkan kecelakaan mobil ketika hendak pulang.

"Gak mungkin ..." gumam Basha merosot lemas di lantai teras, menyandarkan punggungnya di dinding bercat putih selepas telepon berakhir.

"Acaaa!" spontan Nadindra menerobos masuk ke dalam halaman rumah Basha, menemukan sepupunya dalam keadaan parau dan mulai terisak.

"Nad ..., Orang tua gue, Nad," isak Basha.

"Iya, gue tahu. Gue udah baca beritanya di artikel. Yang sabar, ya? Lo gak kesepian. Ada gue, Janar, Parikesit, Dena, sama Dharma. Belom lagi, Tante Sarah sama Om Ronald. Tuh, masih banyak lagi orang yang ada di sisi lo, Ca."

"Ca ...," panggil Janar berlari kecil menghampiri kedua keponakannya yang sudah dianggap sebagai saudara—karena, umur mereka tidak terpaut terlalu jauh—diikuti Parikesit, Dharma, dan Dena di belakangnya.

Basha mendongak. Tatapan sendunya bertemu dengan netra cokelat Parikesit. Setelah sekian lama, mereka akhirnya bertemu lagi. Sayangnya, setiap kali mereka bertemu, pasti salah satu dari keduanya mengalami nasib buruk. Seperti sekarang. Beberapa detik kemudian, ia mengalihkan pandangannya. Kembali menatap kosong ke arah pagar. Tempat terakhir kali ia bertemu dengan kedua orang tuanya. Itu beberapa hari yang lalu.

"Yang sabar, ya?" kata Janar mengelus-elus bahu Basha yang sekarang berada dalam dekapan Nadindra. "Kita masuk dulu ke kamar. Biar Om Ronald sama Tante Sarah yang jemput jenazah orang tua lo."

"Lo gendong, gih, Ri. Aca lemes banget keliatannya," kata Nadindra pada Parikesit. "Gue sama yang lain mau bantuin persiapan pemakaman."

Parikesit mengangguk. Ia berjongkok di depan Basha, membawa sepupunya itu ke dalam kamar. "Hati-hati," peringatnya menurunkan Basha dari gendongan ke atas ranjang, menyenderkan punggungnya pada permukaan dipan. "Kak Ca, butuh sesuatu?"

Basha mengangkat kepala. "Nggak. Makasih," jawabnya dengan suara berdengung.

"Sama-sama," balas Parikesit tersenyum merapikan anak rambut Basha yang berantakan, menutupi indera penglihatannya. "Kak Ca ganti baju, ya? Biar lebih nyaman dikit."

Basha mengiyakan. Ia berjalan mendekati lemari mengambil t-shirt oblong serta celana pendek. Lalu, masuk ke dalam kamar mandi dengan tertatih-tatih.

Duduk di tepi ranjang, Parikesit menghela napasnya berat. Mengusap kasar wajahnya. Mengedarkan pandangan ke seluruh kamar, memperhatikan setiap sudut ruangan aesthetic ini. Bingung apa yang harus ia lakukan.

Ceklek!

Basha membuka pintu, keluar dari kamar mandi dan kembali bersandar di dipan. Memandang kosong ke arah jendela, yang samar-samar menampakkan banyak orang berbondong-bondong memenuhi rumahnya hingga ketukan pintu memecah keheningan di antara mereka. Dibantu Parikesit, ia berjalan ke arah pintu dan mendapati seorang pria berusia setengah abad datang membawa secarik kertas dan pena di kedua tangannya.

""Permisi. Bisa minta tolong untuk menulis nama Papa-Mama di sini?" tanyanya. "Untuk diumumkan di masjid."

Basha menatap sayu kertas itu. Semua terasa seperti mimpi. Gemetaran, ia mengambil benda tersebut dari kedua tangan pria itu dan menuliskan nama orang tuanya.

Daniel Gouw & Shannon Gouw

"Terima kasih," ucap pria itu tak lupa mengucapkan terima kasih dan pergi dari hadapan kedua remaja itu.

Basha sesaat terdiam di ambang pintu. Memandang lekat ruang keluarga yang berada tepat di depan kamarnya, segala ingatannya bersama kedua orang tuanya berputar secara bergantian dalam pikiran. Layaknya sebuah film. Adegan demi adegan terjadi. Sampai ia tak sadar bahwa tubuhnya limbung ke depan. Beruntung, Parikesit menahannya.

"Kak Ca, Kak Ca mending istirahat, deh," tutur Parikesit membopong Basha kembali ke dalam kamar. "Kita doain Om Daniel sama Tante Shannon diterima amal ibadahnya di sisi Tuhan."

Semenjak saat itu,Bashapun diurus oleh keluarga Parikesit—lebih tepatnya Ronald dan Parikesit. Sebab, Sarah tak menyukai keberadaan keluarganya. Terlebih lagi pada Danielyang dulunya sempat menjadi orang tak mampu. Karena, Basha tidak mempunyai nomor telepon dari pihak keluarga Daniel.

PARIBASHA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang