22 - AMANAH BASHA

23 3 0
                                    

Happy reading!

Ujian Akhir Semester telah usai, sama halnya dengan Kompetisi Robot tingkat Nasional yang diadakan di Yogyakarta. Setelah komunikasinya dengan Parikesit berakhir hari itu, mereka tak lagi saling berkomunikasi. Hanya dengan Dena saja, Basha mengetahui kondisi laki-laki itu. Begitupula sebaliknya. Tapi, hal itu malah membuat hati Basha malah perih rasanya.

Kini, Basha sedang membersihkan kamarnya. Keringat mengucur deras. Baju yang ia kenakan telah basah. Pendingin ruangan tak mampu menghalau panasnya cuaca.

"Eh, apaan, nih?" gumamnya ketika membongkar isi laci meja yang jarang ia buka semenjak kepergian kedua orang tuanya, berniat menata isinya kembali. "Kertas?"

Basha meletakkan laci di lantai dan membuka map tersebut dengan rasa penasaran dan penuh hati-hati. Di sana, ia melihat sebuah alamat lengkap.

"Guangzhou?" Basha seketika teringat akan ucapan Daniel saat ia masih duduk di kelas enam.

***

"Ca," panggil Daniel dari ambang pintu kamar putrinya, diikuti Shannon dari belakang.

Basha menoleh, melepas kedua headset wirelessnya. "Ada apa, Pa?"

"Kamu sibuk?" tanya Daniel balik memasuki kamar Basha.

"Hm, nggak. Lagi baca novel."

Daniel mengangguk. Ia duduk di tepi kasur, memandangi punggung Basha yang bergerak membereskan buku-buku novel yang berserakan di meja lalu ikut bergabung bersamanya.

"Kenapa, Pa?"

"Kamu umur berapa?" Shannon bertanya.

"Sebelas. Bentar lagi dua belas. Emang kenapa?"

"Kalo kamu gak kuat di sini, pas Papa sama Mama udah gak ada, kamu bisa pulang ke alamat ini. Kalo kamu ngerasa kesepian, gak ada teman, atau jenuh," jelas Daniel meletakkan secarik kertas dalam genggaman Basha.

Basha mengernyit. Ia membuka kertas itu, membacanya dengan seksama. "Guangzhou? Bukannya, itu di Cina?"

"Iya, itu di Cina." Daniel membenarkan. "Itu alamat rumah kakak Papa, Gouw Ya Qiong. Dan, sekali lagi, Papa minta maaf. Kalo selama ini Papa nggak bilang ke kamu, kalo Papa masih punya keluarga. Karena, masalah itu bukan hak Papa buat jelasin ke kamu. Itu hak Bibi kamu."

***

"Apa gue ke sana aja, ya? Lagian, gue kalo di sini sakit batin mulu liat ulahnya Tante Sarah," monolog Basha. "Ada aja gitu drama yang diproduserinnya."

Ting!

Ia seketika tersadar begitu layar handphonenya menampakkan pesan dari sang wali kelas untuk membantunya mengetik.

"Daripada mikirin hal yang bikin gue sakit hati, mending gue bantuin Bu Ani. Trus, pesen tiket pesawat. Eh, tapi, kan, gue gak tahu caranya? Ck! Selama ada Mbah Google, keknya pasti bisa," monolog Basha lagi, membereskan semuanya ke tempat semula.

***

Sekarang, Basha telah berada di sekolah dengan tumpukan rapor dan kertas di kanan-kirinya. Lebih tepatnya kantor guru. Berkat ketakutannya yang semakin menipis itu, ia memilih menaiki ojek online. Dan, ia bangga atas hal itu. Karena, perlahan-lahan ia bisa melawan rasa ketakutan ini.

"Ini, kamu ketik, ya, Ca. Samakan dengan catatan yang sudah saya beri tadi. Setelah itu diprint, biar besok udah bisa dimasukin ke rapor." jelas guru berusia setengah abad tersebut yang hanya direspon anggukkan oleh Basha. "Yo wes, selamat bekerja, yo."

PARIBASHA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang