08 - DETAK-DETIK

25 6 0
                                    

Happy reading!

Basha merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Dengan jarak kamarnya yang dekat dari kolam, suara benda yang masuk ke dalam kolam sukses membangunkan gadis itu dari alam mimpi. Ia terbangun, mengucek-ucek matanya. Lalu, bergegas mandi. Terlalu malu untuk berhadapan dengan Parikesit dalam keadaan seperti ini; wajah bantal, badan bau, dan rambut yang berantakan. Gadis itu akhirnya keluar dari kamar mandi dan bergerak menuju halaman belakang. Di dapur, ia mendapati Nadindra tengah menyiapkan minuman.

"Hei! Akhirnya, kau bangun, Ndoro," canda Nadindra bernada sindiran, melirik Basha melalui lirikan matanya.

Basha terkekeh. "Ehehehe. Capek."

"Eh, Ca. Baru bangun?" tanya Janar menyadari kehadiran Basha yang kini berjongkok di depan kolam renang, lalu kembali fokus pada laptopnya.

Basha mengangguk. "Ehm, iya, Mas."

Penglihatannya beralih mengamati sekitar, mencari keberadaan Parikesit. Namun, ia tak kunjung menemukan sosok jangkung itu di kolam renang.

"Nyari Parikesit lo?" Seakan tahu isi pikiran keponakan yang sudah dianggap sepupunya itu, Janar mengungkapkan apa saja yang ia lihat tadi. "Dia ada di depan tadi. Katanya, sih, mau latihan fisik, trus, sepedaan keliling Tretes."

"Ha? Sepeda gunung? Gowes gitu?"

Janar mengangguk.

"Ya udah. Makasih, ya, Mas."

"Tadi, lho, ya. Gak tahu kalo sekarang."

Basha tak mempedulikan ucapan Janar selanjutnya. Ia bergegas meninggalkan area kolam renang dan menaiki anak tangga menuju teras villa. Matanya menangkap sosok remaja laki-laki shirtless tengah melakukan pull up di dekat meja billiard. Setiap bulir keringat yang membasahi pelipisnya mampu membuat Basha terpaku di tempat.

Segitu kerasnya dia latihan demi jadi Angkatan Udara? Bahkan, di sela-sela liburan, masih sempat-sempatnya kayak gini.

Deru napas Parikesit begitu sopan memenuhi gendang telinga Basha, sehingga lama-lama ia terhanyut dalam suara itu.

Merasa ada seseorang di belakangnya, Parikesit menoleh dan mendapati Basha sedang melihat aktivitasnya. "Eh, udah bangun, Kak?" tanyanya mengusap keringat dan meminum botol yang diletakkan di atas meja billiard.

Basha mengedikkan bahu. Ia malu kepergok bangun kesiangan oleh laki-laki itu. Untung saja, keluarganya tidak ikut dalam liburan ini. Bisa-bisa, ia bisa diledek habis-habisan. Ah, jika seperti ini, Basha jadi merindukan kedua orang tuanya dan sebisa mungkin tak menangis di hadapan Parikesit. Mau di taruh di mana wajah cantiknya ini?

"Baru aja, sih." Lagian, kenapa kamu gak bangunin aku?

"Mau kemana?" Lagi-lagi, Basha angkat bicara dan berpura-pura tidak tahu ketika melihat Parikesit mengenakan pakaian jersey sepedanya.

"Sepedaan. Lagi pingin aja, sih, daripada nganggur. Aku juga gak bisa sering-sering main hp, soalnya belum beli kacamata anti radiasi. Kenapa? Mau ikut?"

Basha menggeleng. Hatinya berkata iya, namun raganya malah bertolak belakang.

"Pake hoodie, aku tungguin."

"Eh?"

"Mau ga?"

Tanpa menjawab, Basha berlari masuk ke dalam villa dan beberapa menit kemudian, ia telah kembali mengenakan hoodie abu-abu beserta topi best seller pemberian almarhum ayahnya. Tak lupa, mengenakan masker medis yang telah tali menggantung di kedua telinganya dan ini pertama kalinya ia mengenakan kacamata batman setelah sekian lama.

PARIBASHA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang