Happy reading!
Nadindra, Janar, dan sebelas orang lainnya telah berangkat menuju Gunung Argopuro yang memiliki trek terpanjang di Pulau Jawa, yakni enam kilometer. Dan, sejak kemarin malam, Basha memaksa Parikesit agar ikut dalam acara pendakian ini. Namun, laki-laki itu menolaknya tegas. Dengan alasan takkan ada yang menjaga Basha ketika ia berpergian bersama rombongan pendaki lainnya.
Dan, kini, keduanya bergelung di dalam selimut dengan guling hotel sebagai jarak. Ini kemauan Basha. Ia tak tega melihat Parikesit harus beristirahat di sofa. Gadis itu memang diam-diam berpura-pura tak tidur kemarin malam, karena ini pertama kalinya ia satu kamar kembali bersama Parikesit setelah sekian tahun lamanya, sehingga membuatnya sedikit susah tidur. Dan, saat itu juga, ketika Basha mencari posisi nyaman untuk tidur, ia tak sengaja membalikkan badan dan melihat kaki Parikesit menekuk lantaran laki-laki itu harus terlelap di atas sofa.
Kini, sayup-sayup Basha mendengar dengkuran halus. Sedangkan tangannya meraba-raba sekitar guling dan memeluk benda panjang itu. Sayangnya, ia merasa aneh dengan guling yang dipeluknya saat ini. Terasa keras dan ukuran panjangnya tidak sepadan dengan ukuran guling-guling pada umumnya. Dan, Basha semakin merasa ada yang tak beres dengan guling kesayangannya kali ini. Bukankah permukaan guling melingkar, bukan kotak-kotak layaknya roti sobek. Perlahan, ia membuka matanya dalam kondisi jantung berdegup kencang. Memekik dan menimbulkan suara benda jatuh.
BUGH!
"Aduh!" keluh Parikesit, kesakitan memegangi pinggulnya. Sementara Basha terkesiap, menyadari jika yang ia peluk merupakan tubuh Parikesit bukan guling kesayangannya selama dirinya memejamkan mata.
Haduh, kasus iki! Heh, anjir, yok opo iki?! Woy! Yok opo iki, Kambing?!
(Haduh! Masalah ini! Heh, anjir, gimana ini?! Woy! Gimana ini?!)
Basha menahan dirinya agar tidak meminta maaf kepada Parikesit, karena malu atas apa yang ia perbuat. Tapi, jika tidak meminta maaf, gadis itu akan selalu dibayangi rasa bersalah. Apa lagi, jika tiba-tiba peristiwa ini akan berputar di kepalanya secara tanpa sengaja ketika ia tengah melakukan suatu kegiatan atau saat sedang menyendiri.
"Shit!" umpat Parikesit memindahkan bantal, guling, dan bedcover ke atas ranjang seperti semula.
Basha meringis. "Eh, Ai, maaf, ya ... Gak sengaja. Beneran!"
Parikesit mengalihkan pandangannya pada Basha yang menunduk ketakutan. Dalam benaknya, ada sedikit rasa bersalah pada gadis itu dan memutuskan untuk menetralkan napas, sekadar menenangkan diri juga mengontrol emosinya. "Iya, gak papa. Gak sakit. Cuma kaget aja tadi."
Basha sedikit tidak yakin mendengarnya. Jawaban Parikesit bagaikan sebuah omong kosong belaka. Padahal, sebenarnya, laki-laki itu pasti merasa kesakitan pada bagian pinggulnya.
"Gak percaya?" tanya Parikesit seolah mengerti isi pikiran Basha.
Sang lawan bicara menganggukkan kepalanya.
"Tenang aja. Udah sembuh, kok."
"Kok bisa?" tanya Basha mengernyit dahi.
"Iya. Liat kamu."
Basha spontan melotot dan melemparkan bantal hotelnya. "PARIKESIT!"
"Hahahaha." Parikesit tertawa keras menyilangkan kedua tangan, melindungi tubuhnya.
BUGH!
***
Sebuah mobil sport kembali membelah hutan yang lumayan lebat. Dibalik kemudi terdapat Parikesit yang fokus mengemudi dan Basha yang memainkan handphonennya bosan. Sekarang, mereka sedang dalam perjalanan menuju Air Terjun Madakaripura, yang sering disebut menjadi tempat Mahapatih Gajah Mada melakukan moksa yang berarti kebebasan dan kelepasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PARIBASHA [TERBIT]
Teen FictionMencintai seseorang dalam diam bukanlah hal yang mudah. Begitupun dengan yang dialami oleh Basha Gouw. Semenjak kematian kedua orang tuanya, gadis bermultitalenta itu terpaksa harus berkomunikasi dengan sang Ketua OSIS SMA Dexterous, Parikesit Mada...