Happy reading!
Pagi-pagi buta, Parikesit mengantar Basha seperti ucapannya semalam. Keduanya sudah bersiap pergi menuju perumahan gadis itu tinggal. Mendadak Parikesit terpaku di tengah-tengah anak tangga yang ia pijaki, mengakibatkan Basha menabrak punggungnya.
"Mau kemana pagi-pagi begini?" tanya Sarah sinis bersedekap dari arah meja makan.
Sambil menggandeng tangan Basha, Parikesit membalas kesal. "Nganterin Kak Basha."
"Oh, ya udah. Sana."
Usai mendengar ucapan Sarah, Parikesit bergegas keluar dari rumahnya. Geram akan perilaku sang Mama. Selama ditarik laki-laki itu, Basha menundukkan kepala. Tak mendongak sama sekali. Ini kedua kalinya ia melihat Parikesit marah. Dapat gadis itu rasakan jika semakin jauh mereka dari pintu rumah, cengkraman tangan Parikesit padanya semakin kuat. Mati-matian tak menahan isak tangisnya sebagai rasa pelampiasan rasa sakitnya.
"Ayo, Kak Ca." Parikesit memasang helm pada Basha. "Sekali lagi, jangan urusin Mama, ya?"
Basha mengangguk. Ia naik ke atas motor, menempatkan diri senyaman mungkin di atas jok. Sementara Parikesit sudah bersiap melajukan motor menjauh dari perkarangan rumah.
***
Tiba di rumah Basha, Parikesit langsung pamit undur diri dan Basha mengerti akan hal itu. Kini, sudah bersiap dengan jersey bulutangkis pemberian sang Papa dulu. Empat tahun yang lalu. Maklum, sebab ia tak mempunyai jersey sepeda seperti Parikesit. Berbicara mengenai laki-laki itu, ia sempat memberi pesan singkat kepadanya tadi, bahwa dirinya sedang berada dalam perjalanan menuju rumahnya bersama Nadindra, Dharma, dan Janar.
Sandwich dan segelas susu menjadi menu sarapannya kali ini. Setidaknya, perutnya telah terisi selama bersepeda. Sambil melahap roti isi tersebut, tangan Basha bergerak men-scroll layar handphonenya. Melihat-lihat isi Instagram sebelum akhirnya ketukan pada gerbang pagar membuat gadis itu mengalihkan pandangannya.
"Iya, sebentar," sahutnya berjalan keluar rumah. "Eh, Dena. Masuk."
"Ehehehe. Makasih, Ca," balas Dena, mengerti kode yang Basha berikan.
"Lo tunggu dulu, ya. Gue selesain sarapan dulu."
"Oke, siap!"
Dengan cepat Basha melahap sandwichnya dan meneguk segelas susu dengan terburu-buru. Di saat bersamaan, ia mendengar pagar sledingnya terbuka kembali dan suara-suara bising mulai memenuhi rumahnya. Pasti itu Parikesit bersama yang lain, pikirnya ketika mencuci piring dan gelas bekas sarapan dan bergegas menghampiri para sepupu dan sahabat-sahabatnya.
"Udah semua, kan?" tanya Basha melihat lima orang yang duduk di sofa yang berada di hadapannya saat ini.
"Udah."
"Oh, ya. Kenalin, ini Dena, dia temen gue di sekolah." Basha berucap mengenalkan Dena kepada Parikesit, Dhamar, dan terakhir Janar. "Dia mau join juga."
Nadindra mengangguk antusias. "Oh, bagus, dong!"
"Salken, gue Dharma," kata Dharma menjabat tangan Dena.
Sedangkan Parikesit hanya diam, sebatas mengikuti apa yang sahabatnya itu lakukan. Dan, Janar, pria itu sedari tadi tak mengalihkan pandangan matanya pada Dena. Begitupula gadis tersebut. Beruntung, Nadindra dengan cepat menyenggol lengan Janar menggunakan sikunya.
"Parikesit," sela Parikesit.
"Janardhana, panggil aja Janar."
"Ngedip, dong, Pak," goda Nadindra berbisik sekaligus tersenyum jahil.
KAMU SEDANG MEMBACA
PARIBASHA [TERBIT]
Teen FictionMencintai seseorang dalam diam bukanlah hal yang mudah. Begitupun dengan yang dialami oleh Basha Gouw. Semenjak kematian kedua orang tuanya, gadis bermultitalenta itu terpaksa harus berkomunikasi dengan sang Ketua OSIS SMA Dexterous, Parikesit Mada...