Happy reading!
Basha berkutat di depan MacBooknya. Sudah ratusan lembar halaman yang ia tuangkan ke dalam setiap halaman kosong Microsoft Word berisi perjalanan hidupnya, termasuk menjadi lulusan terbaik Univeristas Brunel dan Univeristas Oxford ketika mendapatkan gelar Bachelor of Arts dan Master of Bussiness Administration. Sangat mengesankan memang. Tapi, wanita itu nyatanya tetap hidup dalam bayang-bayang Parikesit Mada Alister. Lelaki yang ia cintai sejak kelas satu SMP hingga saat ini diusianya yang kedua puluh tujuh tahun.
Basha terkekeh. Sambil menunggu taksi online, wanita itu mengamati bandara Halim Perdanakusuma dari Starbucks. Menyipitkan mata, demi melihat hal-hal kecil yang sedang terjadi di sekitar. Helaan napasnya terdengar sangat jelas. Tangannya bergerak mengusap kasar wajahnya. Tiga tahun di Cina dan delapan tahun di Inggris membuatnya ketinggalan akan hal-hal yang terjadi di Indonesia. Mengingat ia jarang berkomunikasi dengan Nadindra atau Dharma, karena kendala waktu. Secepat itukah waktu berlalu?
"Shit!" decak Basha kesal, mengingat-ingat masa-masa dulu bersama Parikesit. Namun, suara telepon mengalihkan perhatiannya. "Nadindra?" gumam Basha melihat nama kontak yang terpampang di layar handphonenya. "Halo?"
"Acaaa!!!" pekik seseorang dari sana membuat Basha menjauhkan handphone dari telinganya dan rupanya itu adalah Nadindra. "Ca, lo udah di Jakarta belom? Tadi, gue gak sengaja lihat di akun IG penerbit buku lo yang lewat di searching tadi."
Basha mendengus. "Iya. Cuma meet and greet doang, sih. Kenapa?"
"Aaaaa!!! Berarti, isoklah nongki-nongki. Mumpung gue tinggal di Jeketi sekarang."
Ya, beberapa bulan yang lalu, Basha berhasil menerbitkan sebuah buku bergenre fiksi remaja setelah beberapa tahun batal tak menerbitkan karya hanya karena rasa insecure dan kini buku itu laku keras di pasaran. Walau ia terpaksa harus bolak-balik Jakarta-London. Dan, ternyata ucapan Parikesit menjadi kenyataan selama ini. Parikesit lagi, Parikesit lagi, pikirnya.
"Tang-mentang dah, merit, ye. Kalo gue pikir-pikir dulu aja, gimana?" tawar Basha sedikit ragu.
"Yo wes. Tak kek i waktu telu jam tok," balas Nadindra tegas, seolah tak dapat digugat.
"EH, ANJIR!" pekik Basha melototkan mata. "Gak kurang a? Tambah ono."
"Ora. Pokoknya, gue harus dapat jawaban tiga jam lagi. Kan, lo udah nolak dua kali kemarin-kemarin. Pas pertama, itu ... nikahan gue sama Dharma. Kedua nikahannya Dena."
Basha tersenyum miris mengingat Nadindra mengiriminya pesan. Bahwa Dena akan menikah dalam waktu dekat saat itu. Tapi, ia menolaknya dengan baik-baik. Karena, wanita itu tak sanggup melihat Parikesit bersanding dengan sahabatnya di atas pelaminan. Pasti Dena udah bahagia sama Parikesit sekarang. "Oke, deh, oke."
"Nah, gitu kek, pinter!" seru Nadindra. "Ya udah, bye!"
"Hm," balasnya mematikan sambungan telepon sepihak.
"Iyain. Nggak. Iyain. Nggak," gumam Basha menghitung menggunakan jari lalu duduk di tepi ranjang dan mengacak-acak rambutnya frustrasi. Di saat bersamaan telepon berdering, menampilkan sebuah kontak tak dikenal. "Selamat malam? Dengan Basha di sini."
"Malam. Saya sopir taksi yang Anda pesan, Mbak."
"Oh, iya, Pak. Sudah sampai, ya?"
"Iya, saya sudah sampai di depan terminal 1."
"Ya sudah. Saya ke depan dulu," akhir Basha mematikan sambungan sepihak. Ia berdiri, membawa cup berisi moccachino dan bergegas meninggalkan Starbucks.
KAMU SEDANG MEMBACA
PARIBASHA [TERBIT]
Teen FictionMencintai seseorang dalam diam bukanlah hal yang mudah. Begitupun dengan yang dialami oleh Basha Gouw. Semenjak kematian kedua orang tuanya, gadis bermultitalenta itu terpaksa harus berkomunikasi dengan sang Ketua OSIS SMA Dexterous, Parikesit Mada...