꯴᩠ꦽꦼ06. Rahasia Terbesarꪆᰰ

4.7K 942 59
                                        

Tolong pencet bintang, ya?

Boleh? Terimakasih!

•°•°•°•°•°•

Sampai sini, menurut kalian cerita ini membosankan nggak?

Maaf kalau alurnya lambat, aku nggak mau terlalu buru-buru ke konflik.

Enjoy~!

[Name's POV]

Malam itu... (Flashback on)

Selesai makan malam, aku membereskan meja makan juga mencuci piring-piring kotor yang mulai menumpuk. Tanganku bekerja, namun pikiranku pergi entah kemana. Aku terus memikirkan gajiku yang sangat kecil selama menjadi pelayan di bar.

Uang yang aku hasilkan belum cukup untuk membayar apartemen yang kami tinggali. Aku tidak bisa membiarkan kakakku terus bekerja keras sendirian.

Setelah mencuci, aku duduk di sofa tepat sebelah Rami. Tangan kurusnya merangkul pundakku, "ada apa?" Tanyanya perhatian.

Begitulah Rami, kakakku yang satu itu selalu mengetahui isi hatiku walaupun aku selalu berusaha menutupinya. Aku tersenyum kecil, "hanya memikirkan kaus kakiku yang robek."

Ia tertawa, "nanti aku akan membelikanmu yang baru. Tapi yang sobek juga!" Ledeknya disusul tawa yang cukup keras.

Aku menyipitkan mata, menatapnya dengan berpura-pura kesal. Bukannya membujuk, Rami justru mencubit kedua pipiku yang tembam. "Aw! Sakit!" Erangku memegangi bekas cubitannya.

Perempuan cantik itu tidak menjawab, Rami berdiri dan memakai jaket tebalnya. "Mau kemana?" Tanyaku penasaran. Jarang sekali kakakku pergi keluar pada malam hari, biasanya ia merasa ketakutan.

"Aku ada urusan," Katanya. "Aku pergi dulu, jangan tunggu aku!" Rami menutup pintu. Kini aku hanya sendirian di apartemen. Ah, aku berdua, dengan pikiran negatif yang selalu menghantuiku.

Aku pikir, hanya malam itu saja kakakku keluar pada malam hari. Tapi ternyata Rami selalu keluar pada malam hari, tiap aku bertanya ia selalu menjawab jawaban yang sama. 'Aku ada urusan' itu dan selalu itu.

Terkadang bibirku selalu ingin bertanya urusan apa yang membuatnya sibuk sampai pulang pada pagi hari. Namun aku selalu mengurungkan niat untuk bertanya. Dia memang kakakku, tapi entah kenapa aku tidak berani bertanya.

Hari demi hari berlalu, aku sedang menunggu Rami pulang. Sudah pukul 03:52, tapi ia belum sampai rumah juga. Rami membuatku khawatir. Pada akhirnya aku bersiap diri, berniat untuk mencari kakakku di luar.

Tapi semua rencana itu gagal, ketika kakakku pulang saat aku sedang memutar gagang pintu. Rami menatapku yang berpakaian rapih beberapa saat. Lalu dia memarahiku, "sudah kubilang jangan tunggu aku pulang!" Hal yang sangat jarang terjadi.

Karena merasa tidak bersalah, aku mencoba untuk membela diri. "Kau membuatku khawatir! Apa yang terjadi denganmu?!" Aku menatap Rami dengan tatapan tanya. Berharap ia menjelaskan kegiatannya di luar sana.

"Diam. Kau tidak perlu tahu," Ujar Rami seperti menyembunyikan sesuatu. Dilihat dari matanya, ia merasa sedih sekaligus kecewa. Aku tidak tahu apa ia merasakan hal itu karena aku atau bukan.

Aku memutar tubuh, memandangi Rami yang sedang membuka pakaiannya. Beberapa luka lebam terlihat, buku-buku jarinya berwarna hitam. "Apa yang terjadi denganmu?!" Tanganku menggenggam tangan Rami dengan penuh rasa khawatir.

Tapi sepertinya ia tidak senang. Ia mendorongku sampai aku terjatuh, "DIAM! TIDAK BISAKAH KAU DUDUK TENANG?! KENAPA KAU BANYAK BICARA?!" Rami, untuk pertama kalinya aku melihat wajahnya marah sampai memerah seperti itu. Untuk pertama kalinya juga Rami membentakku seakan aku melakukan hal yang sangat dibenci.

SECRETS | Nanami KentoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang