¶ Y I S | B A B | 33 ¶

301 23 12
                                    

Meskipun terlihat yakin, sebenarnya di dalam lubuk hati gadis itu terdapat sedikit keraguan. Pasalnya sudah lebih dari dua puluh menit, tetapi Freya belum mendapat kendaraan yang ia inginkan. Yang selalu melintas di depannya hanya truk pengangkut air pegunungan, mobil dan motor yang ia yakini sebagai pengunjung, serta beberapa bus yang entah di mana terminalnya.

"Kayaknya bener kata Kenan, bakal susah nyari kendaraan. Terus gimana dong?" Perlahan raut wajahnya tampak gusar dan otaknya terus berpikir keras.

"Masa gue balik lagi, sih? Malu yang ada." Dalam hati ia merutuk dirinya sendiri karena terlalu terburu-buru saat memutuskan sesuatu. Di saat bersamaan Freya juga memikirkan perihal sang mama yang entah bagaimana keadaannya.

Sepuluh menit berlalu dan Freya masih setia berdiri sambil menatap jalanan dan berharap ada yang mengasihani dirinya, lalu dengan senang hati mengantarkanya pulang.

Masih dengan pikiran gilanya, Freya malah duduk sambil meluruskan kaki yang terasa pegal akibat terlalu lama berdiri. Tak hanya kaki, bibirnya pun terlihat pucat, dan kedua telapak tangannya ia gesekkan pelan agar menciptakan rasa hangat. Terlebih si remaja keras kepala itu hanya di kelilingi pepohonan tinggi dan jalan raya satu-satunya sebagai akses menuju tempat-tempat pariwisata. Rumah penduduk pun hanya ada satu dua saja.

Jika situasi ini dialami oleh orang penakut, pasti orang itu tak akan berani duduk di pinggir jalan seperti tak punya tujuan. Namun, untungnya Freya berbeda. Bermodalkan nekat dan ambisi yang kuat, bukannya mencapai yang ia inginkan malah menghantarkan menuju kesulitan.

"Oke, gue nyerah!" Ia berdiri seraya menghentakkan kaki, lalu menatap sekitar yang semakin sepi. Cahaya di langit pun semakin meredup, tak seterik tadi.

Dengan menurunkan sedikit gengsi dan mencoba berpikir 'bodoamat', Freya berjalan santai menuju arah perkemahan yang hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja untuk sampai.

"Gak pa-pa, Frey. Gak pa-pa. Dari pada lo kedinginan terus mati, kan?" ujarnya pada diri sendiri. Mencoba meluluhkan rasa gengsi yang bersembunyi di balik raut wajah datarnya.

Namun, semesta berkata lain. Belum ada lima menit ia berjalan, Freya merasakan aneh di sekujur tubuhnya. Seperti rasa dingin dan panas berpadu jadi satu. Selain itu, keringat mulai menampakkan wujud dan pandangannya menjadi kabur. Tak menghiraukan apa yang ia rasakan, Freya tetap berjalan meski dirasa sulit. Sesekali ia terpeleset sebab jalan yang ia lalui sedikit rusak dan tidak rata seperti jalan raya.

Setelah berhasil melalui beberapa meter, ia terpeleset kembali. Namun, kali ini ia dihadapkan oleh bebatuan besar sehingga membuatnya terjatuh dan tak dapat bangkit karena tenaganya terkuras habis. Yang tersisa ialah kegelapan, keheningan, dan kesepian, tetapi bukan rasa ketenangan.

***

Dua pasang mata terlihat begitu lekat memandang seseorang yang tengah berbaring lemah. Sesekali mereka beradu pandang dan berbicara seperlunya.

Sampai tiba waktu yang ditunggu. Orang yang menjadi pusat perhatian terlihat mengerjapkan mata pertanda ia telah bangun dari pingsan empat jam lamanya.

"Akhirnya!" Gadis itu —Elena, terlihat begitu senang ketika melihat sahabatnya sadar. "Gimana bisa sih lo sam-" Belum sempat ia mengomeli Freya, tangan seorang pria malah membekapnya.

"Ngomelnya gak bisa nanti apa, Mbak?" Rautnya terlihat kesal, tetapi masih tersisa ciri khas seorang Putra.

Perdebatan kecil itu terus berlanjut sampai lupa dengan Freya yang sudah duduk dan masih mencerna apa yang sedang terjadi. Di sela-sela kebingungannya, Freya terlihat meringis dan memegang kepala yang baru ia sadari terdapat sedikit perban di sana.

"Kenapa lo berdua sih yang bantuin gue? Harusnya tuh orang lain, biar gue dianterin pulang. Ini malah ke rumah sakit! Rumah sakit mana sih ini? Kita udah di kota, kan?"

Putra bangkit, lalu menyentil pelan dahi Freya. "Kenapa jadi lo yang ngomel-ngomel, sih? Masih untung lo selamat! Kalo lo diculik gimana? Terus koid! Siapa dong yang bakal gue gangguin lagi?" Putra terlihat frustasi, kesedihan tercetak jelas di sana.

Keheningan pun dimulai, tetapi tak berselang lama Putra membuka suara dan menyuruh Elena pulang, sebab jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Walau sempat ada penolakan sedikit dari Elena, tapi akhirnya ia setuju untuk pulang.

Kini tinggalah dua orang yang saling diam. Lalu tanpa diminta, Putra mulai bercerita bagaimana mereka bisa berada di sini. Dimulai dari Freya yang dibopong seseorang sampai ke area perkemahan, lalu semua orang langsung panik dan panitia mulai memberi pertolongan pertama. Setelah mendapat pertolongan pertama, Freya langsung dibawa ke rumah sakit karena tak kunjung sadar. Dan ya, saat ini mereka—Freya dan beberapa orang yang menemani sudah berada di kota.

"Yang bawa gue ke perkemahan siapa?" tanyanya penasaran.

"Ah, itu. Kayaknya sih orang gila!" jawab Putra yakin. "Udah, gak usah dipikirin. Yang penting lo selamat, Frey," lanjutnya sesaat setelah menyadari ada sinyal keraguan di wajah lawan bicara.

Freya mengiyakan, lalu berbaring kembali karena dirasa tubuhnya masih lelah.

"Kalo lo mau pulang, pulang aja, Kak," pesannya sambil mencari kenyamanan di atas ranjang. Namun, ketenangan tak kunjung datang. Tiba-tiba saja ia kepikiran sesuatu. "Kak! Hape gue mana? Mana!"

"Gue kurang tau, sih. Tapi kayaknya sama dia," jawabnya ragu dan masih tampak berpikir. "Gue ambilin aja deh ya.

Putra bangkit, tetapi tak lupa membenarkan letak selimut Freya dan memberikan sedikit pesan untuk tetap di dalam.

Tak mengindahkan pesan tersebut, setelah nemastikan Putra benar-benar pergi dari ruang inapnya, Freya pun melepaskan infus yang ada di tangan kiri, lalu berdiri dengan hati-hati.

"Bukannya diajak keluar, malah ditinggal. Gue 'kan bosen!" gerutunya merasa kesal. 

Ia menghela napas lega setelah berhasil keluar dari ruangan berdominasi putih itu. Belum lagi bau obat-obatan yang sedari tadi mengganggu indra penciuman. Bahkan sampai saat ini, bau tersebut masih menemaninya berjalan di lorong rumah sakit yang mulai sepi.

Bingung hendak ke mana, Freya memilih untuk mengikuti jalan yang ada. Menuruni anak tangga dan tak mempedulikan beberapa orang yang menatapnya heran sekaligus kasihan. Hingga sampailah ia di lantai bawah dan beberapa senti di hadapannya sudah terlihat jelas pintu keluar. Namun, saat pintu otomatis itu sudah terbuka dengan sendirinya, Freya dikejutkan dengan sosok yang sangat tidak ia suķa.

"Lo ngapain di sini?" tanya Freya sinis karena ia berpikir orang tersebut berada di sini untuk menjenguknya.

"Lo gila?! Ikut gue!"

Dengan tatapan tak percaya, perempuan itu—Megan, menarik lengan Freya untuk masuk ke dalam lagi. Yang ditarik meringis kesakitan.

"Kenapa, sih, Kak! Sakit tau!" bentak Freya tak merasa takut dengan tatapan Megan yang begitu tajam. Berkali-kali pula ia mencoba melepas cengkeraman tangan Megan yang entah mengapa sangat sulit untuk dilepas.

Tepat di depan ruangan yang bertuliskan UGD, Megan melepaskan cengkraman tersebut dan berganti memegang pundak Freya. Ia menarik napas dalam-dalam dan mencoba tenang.

"Freya ... adik gue satu-satunya. Orang yang paling nyebelin, orang yang paling bikin gue kesel, orang yang sempat paling gue benci. Lo ke mana aja sih? Tau gak? Mama nungguin lo, Frey," ujarnya dengan tenang dan lemah lembut. Tanpa amarah sedikitpun.

Seketika, oksigen di sekitar Freya seakan habis. Degup jantungnya pun semakin menjadi-jadi. Sebenarnya ada apa?

***

Halo semua! Apa kabar? I am comeback, haha!
Masih nungguin cerita ini, kan?:(
Jangan lupa vote dan komennya, ya! Aku tunggu, lho..

Yes, I'm Strong! [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang