Freya mematung, merasa terkejut dengan ungkapan Putra. Berulang kali ia menatap wajah lelaki berperawakan tinggi di depannya, tak ia temukan sedikit kebohongan.
Penuh keraguan, akhirnya Freya angkat suara. "Maaf, gue udah ngira aneh-aneh. Emang, gue mirip dari mananya sama adek lo?"
"Sifatnya, Frey. Adik gue juga gampang banget ngelupain emosi ke orang-orang. Banyak yang gak suka dia. Lo tau asalnya dari mana? Dari rumah. Rumah yang seharusnya jadi tempat ternyaman untuk pulang, tapi enggak untuk sebagian orang, khususnya gue dan adik gue. Pulang ke rumah rasanya semacam neraka dunia." Putra menahan napas karena sangat sulit untuk ia keluarkan. Terlebih jika mengingat hari itu. Hari di mana adik satu-satunya menyerah oleh keadaan.
"Gue yang bego. Gue biarin dia sendiri. Gue gak pernah nanya dia gimana." Kedua tangannya mengepal, merasakan amarah yang tiba-tiba saja bergejolak. Ia marah, terhadap dirinya sendiri.
"Oke-oke, udah." Freya sedikit bingung mau merespons seperti apa. Dengan sedikit keraguan, ia menggenggam kedua tangan Putra. Berusaha melepas kepalan tangan yang semakin erat. "Maafin gue. Udah, jangan diinget lagi. It hurts you."
Helaan napas Putra akhirnya terdengar. Freya ikut lega dan semakin erat melingkupi tangan kekar Putra dengan tangan mungilnya.
"Terus pas gue ketemu lo, tiba-tiba aja semacam ngelihat adik gue lagi. Gue jadi ingat dia. Gue ngerasa-" Putra terdiam, tak melanjutkan kata-katanya. Napasnya tersengal, seperti ada sesak yang menyelimuti. Sepertinya bayangan itu kembali menghampiri.
"Udah, Kak! Iya, gue percaya." Suaranya sedikit meninggi. Antara kesal dan sedih menjadi satu, tetapi rasa iba tercetak jelas di wajahnya.
Lima detik kemudian, Freya diselimuti rasa bersalah. Ia berpikir bahwa dirinya telah menghalangi Putra mengeluarkan isi hati. Namun, Freya berniat baik. Ia hanya tak ingin Putra mengingat kejadian lama yang pasti menyakiti jiwa.
Jika ditanya, apa hal paling berani yang dilakukan oleh hati? Tentunya, saat kita berani menceritakan sebuah luka dan menyeret sekelebat ingatan pada jurang nestapa.
"Enggak pa-pa gue, Frey." Putra melengkungkan bibir, menunjukkan bahwa ia baik-baik saja.
Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke tenda masing-masing. Putra pergi dengan sisa-sisa luka yang merambat ke dada, sedangkan Freya kembali berdiskusi dengan isi kepala. Kali ini nama Putra turut hadir di dalamnya.
Baru saja Freya sampai di tenda, suara dari tempat yang dijadikan pusat berkumpul, sudah terdengar kencang. Mengarahkan peserta untuk kembali berbaris. Saat ini matahari sedang bersinar terik. Meski begitu, udara tetap dingin sehingga membuat banyak siswa menyembunyikan kedua tangan di kantung jaket.
Kali ini para panitia memberitahu detail rincian acara. Dimulai dari pembukaan hingga penutupan esok hari. Pastinya terdapat acara api unggun nanti malam yang menjadi ciri khas suatu perkemahan.
"Freya."
Suara panggilan singkat terdengar, membuat Freya yang sedang fokus pada petunjuk acara, menoleh ke belakang. Ternyata, terdapat Kenan di sana. Jika kalian ingin tau, lagi-lagi Freya berbaris tidak sesuai kelasnya. Persetan dengan banyak pasang mata Kakak kelas yang mengintimidasi.
Satu alis Freya terangkat, mengisyaratkan pada Kenan agar memberitahu keperluannya.
"Enggak jadi," jawab Kenan ketus.
"Kenapa, sih, Ken?" Freya bertanya-tanya, masih dengan posisi menoleh. Ia juga menyimpulkan ada kaitannya dengan tadi.
"Gue kesel aja." Kenan berpindah tempat di sebelah kanan Freya agar lebih mudah berbicara. "Lo tuh aneh, ya. Saat cewek-cewek lain minta kepastian alias gak digantungin, lah lo malah biasa aja. Sebenarnya, apa yang lo bilang ke gue minggu lalu benar gak, sih? Apa cuma mau nyenangin gue doang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, I'm Strong! [COMPLETED]
Teen FictionTentang remaja perempuan yang merasa dianaktirikan. Tentang remaja perempuan yang selalu dinomorduakan. Dan, tentang remaja perempuan yang harus selalu mengalah. Ini kisah Freya si cewek dengan segala kesinisannya, kejutekkannya, dan ketus yang men...