¶ Y I S | B A B | 39 ¶

176 6 0
                                    

Untuk hal seperti ini, bagi Freya, larangan ada perintah baginya. Maka, jika ia diminta untuk tidak mencari tau tentang mamanya, suatu saat akan ia cari tau sendiri. Mungkin tidak sekarang atau dalam waktu dekat ini, tapi suatu hari nanti. Bagaimana pun caranya, ia harus tau apa yang terjadi sebenarnya.

Namun, dengan siapa ia harus mengorek semuanya? Bukankah Mirza adalah kunci dari kebenaran itu? Akan tetapi, jika kuncinya memilih bungkam, Freya harus bagaimana? Bertanya pada Megan? Freya yakin Megan juga tidak tau hal tersebut karena ia pun menangkap raut terkejut di wajah Megan ketika mendengar pernyataan Mirza.

Di atas kasur, Freya menghela napasnya kasar. Sebenarnya ia masih menimang-nimang apakah ia benar-benar harus mencari tau semuanya? Sampai ke akarnya? Lagi-lagi isi kepalanya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan itu.

Hari ini adalah hari Minggu dan sedari Freya bangun hingga jarum jam menunjukkan angka delapan, ia hanya berbaring di atas kasur. Ia juga sesekali membuka ponsel dan berbalas pesan dengan Kenan sebab hari ini adalah hari di mana mereka berjanji untuk pergi keluar bersama.

Freya lumayan excited, ia berpikir setidaknya dengan menghabiskan waktu bersama Kenan akan membuat segala pikiran yang ribut di dalam kepala bisa sedikit mereda. Lagipula, ujian akhirnya telah usai meskipun kemarin ia harus tetap ujian susulan setelah melihat pertandingan teman sekelasnya dan untung saja guru mata pelajaran yang belum ia selesaikan masih berada di sekolah jadi bisa ia bujuk sedikit.

Setelah menetapkan pukul berapa mereka akan berangkat, Freya bergegas bangkit, lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Kurang lebih tiga jam lagi Kenan akan datang, tetapi Freya memilih segera mandi agar tak terlalu terburu walaupun ia bukan tipikal cewek yang ribet ketika ingin bepergian.

Tak ada lima belas menit waktu berjalan, Freya sudah keluar dengan handuk piyama. Rambut panjangnya menjadi basah, wajah muram yang dari semalam melekat kini menjadi lebih segar.

Ia pun mendekatkan diri ke cermin. Di pandangi wajahnya tersebut, ada seulas senyum terbit di sana. Tiba-tiba bayangan tadi malam melintas. Tentang dekap hangat pelukan papanya. Lembutnya usapan di atas kepala. Tidak bisa dielakkan, bahwa hal itulah yang Freya inginkan. Meskipun tadi malam ia berusaha menolak perlakuan tersebut dengan melepasnya setelah beberapa detik, tetapi jauh di dalam hatinya ia ingin berada lebih lama di posisi tersebut.

"Munafik banget sih gue," ujar Freya yang masih menatap dirinya di cermin. Ia juga tersenyum miris. Rasanya ia ingin kembali pada malam tadi. Freya berpikir bahwa ia telah menyia-nyiakan kesempatan dan berpikir bahwa Mirza tak akan berperilaku seperti itu kembali.

Dering ponselnya berhasil mengalihkan tatapan Freya di cermin. Ia mendekati kasur dan mengangkat panggilan telepon dari Kenan dengan kernyitan di dahinya.

"Kenapa, Ken?" tanyanya bingung. Beberapa detik berikutnya raut wajah Freya sedikit terkejut. "Loh kok udah di depan?" Ia melirik jam dinding sebentar untuk memastikan bahwa Kenan lah yang terlalu cepat datang.

Tanpa mendengarkan alasan Kenan, Freya langsung mematikan panggilan dan bergegas untuk membenahi dirinya yang masih mengenakan handuk piyamanya.

Di sisi lain, Kenan menatap pagar besar nan tinggi rumah Freya. Ia mencoba menunggu di dekat motornya. Namun, tak berapa lama gerbang bagian kecilnya terbuka dan menampilkan seorang satpam yang sering ia lihat ketika ke rumah Freya.

"Masuk aja Nak Kenan," ujar satpam tersebut bernama Pak Asep.

Kenan tersenyum ramah. "Terima kasih, Pak." Selepas mengucapkan terima kasih, Kenan menaiki motornya dan memasukkan ke dalam.

Saat memasuki halaman rumah tersebut, ia disambut oleh kehadiran Megan di depan pintu. Sepertinya ia memang menunggu Kenan datang. Dan karena Megan pula lah ia datang lebih cepat dari yang ia janjikan dengan Freya.

Yes, I'm Strong! [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang