Career - Midorima Shintaro

969 142 24
                                    


Dibesarkan di keluarga yang konservatif, F/N dituntut untuk tidak terlalu mengejar pendidikannya dan memfokuskan diri untuk belajar mengurus rumah tangga. Stigma semacam ini sudah mendarah-daging dalam keluarga hingga mengekang impiannya. Keinginannya untuk menjadi seorang dokter ditentang. Cita-citanya menjadi astronot dianggap lelucon. Impiannya menjadi petugas forensik dikatakan sia-sia.

Beranjak dewasa, F/N mempertanyakan peran seorang wanita. Apakah seorang perempuan terbatas ruang pergerakannya sebagai ibu rumah tangga? Apa tidak ada pilihan lain selain mengurus rumah saat bayi perempuan dilahirkan ke dunia? Jika memang mendapatkan pilihan untuk mengejar karir, apakah pandangan publik akan berubah pada wanita tersebut?

Jawabannya masih bervariasi tergantung pada siapa ia bertanya.

Kini pertanyaan-pertanyaan itu kembali muncul, bertepatan saat angket pilihan universitas disebarkan oleh pihak sekolah di tahun ketiga. Angketnya masih kosong. Pergulatan batin dalam dirinya masih bergejolak. Masih terbayang dibenak F/N kala mengungkapkan keinginannya untuk menjadi seorang petugas forensik.

"Forensik? Kau ingin pekerjaan yang berurusan dengan mayat?" tanya ibunya dengan nada tak percaya. "Jangan bercanda. Masih banyak pilihan pekerjaan yang sesuai dengan perempuan. Ingat, kau hanya bisa bekerja sampai kau menikah. Setelah itu pekerjaanmu mengurus rumah dan anak."

F/N menggeleng pelan. "Tidak hanya mayat Bu. Pekerjaannya lebih daripada itu. Lagipula aku tidak berniat untuk berhenti bekerja setelah menikah."

Ibunya mendengus, tersenyum meremehkan. "Anak kecil sepertimu tahu apa soal pernikahan. Kau tidak akan punya waktu bebas setelah menikah, apalagi memikirkan pekerjaan. Orang-orang akan menganggapmu sebagai istri yang tidak bertanggung jawab."

"Calon suamiku seharusnya mengerti bahwa aku juga ingin mewujudkan cita-citaku," F/N berusaha melunakkan hati ibunya. "Memangnya kenapa perempuan tidak boleh bekerja setelah bersuami?"

"F/N... kau masih naif," ibunya memegang bahunya, menatap lurus ke arahnya. "Tidak ada lelaki yang ingin status istrinya lebih tinggi. Carilah pekerjaan yang cocok untuk perempuan seperti guru atau perawat. Kalau masih keras kepala ingin mengejar impianmu, tidak akan ada pria yang mau padamu."

"Memangnya ada apa dengan perempuan dan status yang lebih tinggi?" tanya F/N bingung. Ia tidak mengerti perbedaan sikap yang didapatkan oleh perempuan. "Apa perempuan tidak boleh bekerja?"

Ibunya menghela napas panjang, jengah dan lelah menjawab pertanyaannya. "Sudah kodratnya perempuan berada di rumah F/N."

Sampai sekarang ia tidak mengerti. Stereotipe wanita yang harus tinggal dirumah seolah memenjarakan imajinasi dan keinginannya untuk meraih mimpi. Berulang kali ia membujuk ibunya untuk berubah pikiran, mengizinkannya untuk melanjutkan studi sesuai dengan minat. Namun nihil. Semakin ia berusaha untuk membujuk ibunya, semakin keras hatinya untuk menerima.

"Masih belum diisi, nanodayo?"

"Belum," ia mendongak, mendapati Midorima tengah melirik kertas angketnya. "Shintaro... apa kau berpikir bahwa perempuan seharusnya tidak mengejar pendidikan terlalu tinggi karena pada akhirnya hanya akan mengurus rumah?"

F/N tidak menyadari Midorima memandangnya penuh perhatian. Pria itu berdehem pelan lalu duduk di hadapan gadisnya. Mata emeraldnya tidak melewatkan momen saat F/N mencuri pandang ke arah angketnya lalu dahinya mengerut seolah kesal.

"Kenapa bertanya seperti itu, nanodayo?"

Ia menggigit bibir, menimbang apakah ia harus bercerita pada kekasihnya atau tidak. Jauh dalam hatinya, F/N tahu bahwa Midorima tahu. Pria itu selalu awas dengan keadaan sekitarnya. Walau kelihatan cuek dan masa bodoh, Midorima adalah kekasih yang perhatian. Pria itu pasti tahu alasan ia menanyakan hal ini. Midorima tidak akan menghakiminya.

Kuroko no Basuke DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang