My Son- Akashi Seijuro

6.4K 520 20
                                    

F/N menaruh teh yang ia buat di sebelah papan shogi. Sudah menjadi kebiasaannya untuk menemani Akashi bermain shogi melawan dirinya sendiri sejak menikah dengan suaminya itu. Ia akan duduk di samping Akashi lalu menunggunya sampai selesai, walaupun sesekali ia harus meninggalkan sisi Akashi karena mendengar suara tangisan.

"Seiji sudah tertidur?" tanya Akashi tanpa mengalihkan tatapannya dari papan shogi.

F/N mengangguk. "Kurasa ia lelah seharian bermain dengan Ayahnya."

Akashi menghela nafas lalu menjatuhkan kepalanya di bahu F/N. "Seharusnya aku yang berkata seperti itu. Aku tidak mengerti bagaimana bisa di tubuh sekecil itu menyimpan banyak energi untuk bermain seharian."

"Tunggu sampai ia bisa berjalan dan umurnya dua tahun. Aku yakin kau akan mengeluh tiga kali lebih sering daripada sekarang," ucap F/N. Ia tertawa kecil melihat raut wajah Akashi yang berubah.

Seperti yang Akashi harapkan, ia mendapatkan anak laki-laki sebagai anak pertamanya. Seiji mewarisi rambut dan iris mata merahnya dan mewarisi bibir F/N sebagai gantinya. Ia berulang kali mengucap syukur dalam hati saat dua orang paling penting dalam hidupnya selamat saat persalinan beberapa bulan yang lalu. Tidak ada yang bisa menggambarkan perasaan bahagianya saat itu, bahkan sepertinya ia tidak bisa menghapus senyum senang di wajahnya.

"Aku bahagia karena sudah dipertemukan olehmu, permaisuriku," bisik Akashi. Ia menarik F/N dalam pelukannya, melupakan permainan shoginya yang belum selesai. "Kau tidak tahu betapa bersyukurnya aku saat kau dan Seiji memasuki hidupku."

F/N terkekeh pelan dan menyandarkan kepalanya di dada Akashi. Telinganya mendengarkan irama konstan dari detak jantung suaminya. Kedua lengannya berada di punggung Akashi dan membalas pelukannya erat.

"Apa bermain dengan Seiji membuatmu berhalusinasi?" tanya F/N.

"Kalau semua ini hanyalah halusinasiku, lebih baik aku tidak disadarkan seumur hidup," gumam Akashi di rambut F/N. "Tidak F/N, aku mengatakan yang sejujurnya. Kau tahu aku tidak pernah main-main tentang ini."

"Ya, ya. Aku mengerti Sei," balas F/N. "Sekarang cepat selesaikan permainanmu. Aku ingin tidur."

Akashi terkekeh pelan mendengar suruhan halus dari F/N, hanya istrinya yang berhak menyuruh dan memerintahnya sesuka hati. Baru saja ia melepaskan pelukannya, suara tangisan kembali menggema di seluruh penjuru rumah dan Akashi tahu siapa pelakunya.

"Biar aku yang menanganinya. Kau tunggu aku di kamar," ucap Akashi. Ia mencium dahi F/N cepat sebelum bangkit dan meninggalkan F/N di ruang tengah sendirian.

F/N menggelengkan kepalanya mendengar perintah mutlak dari Akashi. Sepertinya kebiasaan lama sulit berubah. Ia mengedarkan pandangannya lalu memutuskan untuk membereskan ruang tengah sebelum menuruti perintah Akashi.

F/N memasukkan mainan Seiji ke dalam keranjang mainan, mematikan lampu dan membawa gelas teh yang belum di minum ke dapur. F/N sengaja meninggalkan papan shogi tanpa disentuh karena ia tahu Akashi akan melanjutkan permainan itu besok.

Langkah kaki F/N terhenti saat telinganya menangkap suara seseorang bergumam dari kamar Seiji. Ia memutuskan untuk diam dan menguping pembicaraan satu arah suami dan anaknya yang masih menangis.

"Kau adalah bayi paling tampan, Seiji. Tentu saja karena kau mewarisi kecantikan Ibumu," bisik Akashi di telinga Seiji.

Wajah F/N memerah mendengar pengakuan Akashi. Ia menutup mulutnya agar tidak mengeluarkan suara apapun yang membuat keberadaannya di ketahui.

"Aku yakin suatu saat nanti kau akan melebihiku. Kau akan mencapai semua ekspektasiku dan harapanku. Tentu saja aku tidak akan memaksamu untuk menjadi sepertiku, tapi aku berharap kau akan membuatku dan Ibumu bangga suatu saat nanti," Akashi melanjutkan pembicaraan satu arahnya.

Seperti mengerti apa yang dibicarakan oleh Ayahnya, F/N menyadari suara tangisan Seiji mereda.

"Kau harus berjanji padaku akan melindungi Ibumu jika suatu saat nanti aku tiada. Ah... kau juga harus menjaga seseorang yang kau cintai. Percayalah pada Ayah, gadis yang kau cintai itu akan membuatmu merasa kau siap menghadapi apapun kalau ia berada di sampingmu, karena itulah yang Ayah rasakan. Jangan ragu bertanya apapun pada Ayah," suara Akashi semakin mengecil seiring dengan redanya tangisan Seiji.

F/N berusaha sekuat mungkin untuk menahan senyum dan air matanya agar tidak menetes. Ia tersentuh dengan ucapan Akashi. Bagaimana pun juga Akashi dikenal sebagai seseorang yang kejam dan tidak memiliki hati, tapi siapa sangka setan merah itu bisa mengucapkan sesuatu yang sangat dalam?

"Selamat tidur anakku, mimpi indah," bisik Akashi untuk yang terakhir kalinya. Ia terlihat tidak terkejut saat F/N menatapnya dengan tatapan haru ketika ia menutup pintu kamar Seiji.

"Aku tahu kau mendengar semua yang kuucapkan pada Seiji, F/N," ucap Akashi sambil menatap F/N. "Dan apa yang kukatakan sebelumnya adalah kebenaran. Aku ingin ia melindungi Ibunya dan gadis yang ia cintai, tapi sampai saat itu terjadi akulah yang akan melindungi kalian berdua."

F/N langsung memeluk Akashi tepat saat Akashi menyelesaikan kalimatnya. Ia menenggelamkan wajahnya di dada Akashi, membiarkan air mata membasahi kaus suaminya. Akashi melingkari pinggang F/N dengan lengannya, pipinya bersandar di kepala F/N sambil sesekali mencium puncak kepala istrinya.

Entah apa yang membuat Akashi tiba-tiba berkata seperti ini, tapi F/N tidak ingin menyia-nyiakan momen yang sangat jarang terjadi. Ia ingin menyimpan sosok Akashi yang satu ini di dalam otaknya dengan sebaik mungkin.

"Terima kasih, Sei. Terima kasih karena sudah memberiku semua kebahagiaan ini," bisik F/N.

Akashi mengangkat dagu F/N, memaksanya untuk bertatapan mata. "Akulah yang seharusnya berkata seperti itu. Tanpa dirimu, kurasa aku masih ragu dengan apa yang ingin kulakukan, masih tetap berpikir terlalu tinggi pada diriku sendiri dan masih tetap kesepian."

"Aku tidak akan membiarkanmu merasakan hal itu lagi," ucap F/N. Ia mencium pipi Akashi cepat lalu tersenyum cerah.

Akashi membalas dengan senyum tipis lalu menggendong F/N ke kamar mereka berdua. Tatapan penuh kasih sayang itu berubah menjadi tatapan berkabut yang F/N sangat tahu artinya.

"Aku mencintaimu permaisuriku dan akan selalu begitu," bisik Akashi di telinga F/N. Bibirnya menjangkau setiap jengkal leher istrinya yang bisa ia raih.

"Aku juga mencintaimu, Sei."

"Kalau begitu apa pendapatmu tentang adik untuk Seiji, eh F/N?"

Kuroko no Basuke DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang