Too Late - Akashi Seijuro

1.4K 157 13
                                    

Akashi berdiri di depan pintu bandara dengan wajah datar. Kacamata hitam bertengger di hidungnya. Ia menarik napas panjang, rindu dengan kampung halaman. Iya, ini pertama kalinya ia kembali ke Jepang setelah menetap di Amerika beberapa tahun.

Ia menetap di Amerika juga atas keinginan Sang Ayah. Beliau bersikeras Akashi harus menempuh pendidikan di negeri Paman Sam sebagai persiapan untuk memimpin perusahaan yang dibangun olehnya selama beberapa puluh tahun belakangan. Akashi tidak bisa menolak. Namun, tidak dapat dipungkiri ia menyesali satu hal. Ia tidak mampu membawa F/N bersamanya.

Seperti kata orang, masa SMA adalah masa yang paling indah. Akashi menyetujui ungkapan itu dengan tulus. Masa SMAnya terasa indah karena keberadaan gadis itu. Gadis yang menjadi kekasihnya selama dua tahun, sebelum akhirnya ia harus melepas F/N.

Gadis keras kepala itu sempat bersikukuh untuk ikut dengannya ke Amerika, tapi Akashi tidak sampai hati mengiyakan. F/N memiliki mimpinya sendiri di Jepang, ia tidak ingin F/N membuang mimpinya hanya karena dirinya.

Senyum tipis terulas di bibir Akashi kala mengingat sosok kekasihnya dulu.

Perawakan tinggi dengan rambut hitam. Jika tersenyum, gadis itu tampak lebih memesona dari siapapun di dunia. Ia yang keras kepala berhasil menyadari Akashi bahwa jalan yang ia pilih selama ini adalah salah. Ia juga, yang dengan lembut, membujuk Akashi keluar dari cangkangnya. Segala yang ada pada diri F/N membuat Akashi jatuh cinta hingga tidak bisa berpaling pada siapapun.

F/N telah menawan hatinya. Bahkan setelah beberapa tahun tidak bertemu.

Masih dengan menenteng tas ranselnya, Akashi berniat untuk langsung menuju tempat reuni SMPnya. Beberapa hari lalu Midorima mengirim undangan reuni melalui e-mail. Dalam e-mailnya tertulis bahwa ia wajib datang karena ia adalah salah satu dari enam tamu istimewa, terlebih untuk tim basket. Selain itu, Midorima juga mengatakan bahwa semua teman mereka hadir, maka tidak ada alasan bagi Akashi untuk menolaknya.

Selama di perjalanan, benak Akashi kembali membawanya ke beberapa tahun lalu.

"Benar-benar harus pergi?"

Akashi tersenyum sedih. Tidak pernah sekalipun dalam bayangannya, ia yang akan menjadi alasan gadis impiannya kecewa.

"Maafkan aku F/N. maafkan aku," Akashi menangkup wajah F/N, membiarkan ibu jarinya membelai lembut pipi gadisnya. "Keinginan Ayahku tidak bisa kutolak."

"Aku tidak boleh ikut denganmu?" tanya F/N lirih.

"Apa kau sanggup meninggalkan keluarga dan teman-temanmu?" sebelah tangan Akashi mengisi celah di jemari F/N, menggenggam jari itu erat. "Kau yakin bisa melupakan mimpimu demi aku?"

F/N terdiam sejenak, memikirkan jawaban yang akan diberikan kemudian mengangguk.

Akashi mendesah pasrah, jengah dengan kekeras kepalaan F/N. "Kau masih ragu. Aku tidak akan memaksamu pergi denganku. Tidak pernah kuinginkan mengambil kehidupanmu karena keegoisanku."

Hatinya serasa diiris perlahan. Mata gadisnya berkilau karena air mata. Akashi menghela napas panjang berusaha mengendalikan diri agar pertahanannya tidak turut roboh bersamaan dengan melesaknya isakan kecil F/N.

"Lalu ... bagaimana dengan kita?" matanya bersirobok dengan iris kecokelatan F/N. Gadis itu tampak ragu menyuarakan pertanyaannya.

Akashi mencium punggung tangan F/N lama, mengungkapkan perasaannya yang tak bisa ia ucapkan dengan kata-kata. Mengerti yang ingin disampaikan olehnya, tangis F/N pecah. Ia menghambur pada Akashi, membenamkan wajah di dada pria berambut merah itu.

"Aku tidak ingin berpisah Sei," isak F/N dalam pelukan Akashi. "Aku tidak ingin berpisah."

Hancur sudah. Dinding kokoh yang berusaha ia pertahankan, hancur berkeping tanpa sisa. Sebelah tangannya berada di punggung F/N, mencengkeram kardigan putih yang dikenakan gadisnya. Ia membawa F/N lebih dekat, sangat dekat hingga tidak ada lagi yang memisahkan mereka. Tangannya yang lain bertaut dengan helaian rambut F/N, memaksa gadis itu bersandar pada pundaknya. Akashi menyusupkan wajah ke bahu F/N, menyembunyikan air mata yang siap tumpah seiring dengan kencangnya tangisan F/N.

"Jangan menangis F/N," bisik Akashi. "Kumohon jangan menangis."

Entah sudah berapa lama mereka tenggelam dalam kukungan satu sama lain, ia tidak peduli. Akashi menuntun F/N untuk berbaring di kasurnya tanpa melepaskan rengkuhan mereka. Hanya tinggal menunggu waktu hingga F/N terlelap karena lelah menangis.

"Jangan pergi Sei. Jangan tinggalkan aku," bisik F/N.

Akashi tidak menyahut, tapi ia melayangkan ciuman penuh kasih sayang di puncak kepala gadisnya. Tersembunyi di balik pintu kamarnya, ia bukanlah kapten yang kejam, ia juga bukan anak kebanggaan sang Ayah. Dalam pelukan gadis yang ia sayangi, ia hanyalah seorang kekasih yang tengah bersedih, menyesal dengan ketidak berdayaannya.

Malam itu Akashi tidak mampu tertidur. Ia menghabiskan sisa harinya dengan merengkuh F/N, menikmati kehangatan yang gadis itu tawarkan, membiarkan setiap bagian dirinya mengingat gadis yang sebentar lagi akan ia lepaskan.

"Tidak peduli seberapa lama aku pergi. Untuk sekarang dan selamanya, kau tetaplah gadis kesayanganku, F/N."

Akashi memejamkan mata, membayangkan bagaimana rupa gadisnya saat ini. Ia memang tidak pernah meminta F/N menunggu, namun setelah memutuskan untuk pulang ke Jepang, ia bertekad akan membawa F/N bersamanya. Kali ini, ia tidak akan melepaskan F/N.

***

Yang pertama menyadari keberadaannya adalah Midorima. Ia turut bahagia mendengar kabar sahabatnya sejak SMP itu telah berhasil menjadi dokter muda. Pembicaraan mereka kemudian beralih ke teman-teman satu timnya. Midorima berkata bahwa Kise kini resmi berhenti menjadi model dan beralih profesi menjadi pilot. Aomine, dengan mengejutkan, tidak mengejar karir sebagai pebasket tetapi menjadi detektif. Murasakibara telah membuka toko kuenya sendiri untuk memenuhi hasrat tak berujungnya pada makanan manis. Sementara Kuroko ternyata sudah menikah. Akashi sempat terhenyak mendengar kabar ini, tapi mengingat bagaimana sibuknya ia di Amerika, sudah bukan hal yang aneh kalau ia juga melewatkan undangan Kuroko.


"Apa kau akan menetap di Jepang, nodayo?" tanya Midorima seraya menyesap koktailnya.

Akashi mengangguk. "Tapi aku harus kembali ke Amerika beberapa kali untuk keputusan final sebelum kepindahanku."

Akashi menyapu pandangan ke sekeliling aula. Ia mengenal beberapa orang, tapi enggan beranjak dari tempatnya berdiri. Orang-orang terlihat gembira, saling tersenyum dan mengobrol. Ia melihat Kuroko yang tersenyum dan melambai ke arahnya. Akashi balas tersenyum kecil.

Tepat pada saat itulah ia melihat gadis kesayangannya. Gadis Impiannya.

Gadis itu baru memasuki ruangan, berbarengan dengan Kuroko. Matanya tidak berkedip mengamati gadis itu menyalami beberapa orang sambil tersenyum lebar. Akashi menyadari dirinya tidak bisa mengalihkan pandangan. Hingga iris kemerahannya menyadari gadis itu tengah memeluk lengan temannya.

"Ah .. itu Kuroko. Ia datang bersama dengan istrinya, nanodayo," Midorima memberitahu.

Napasnya tercekat. Ia tidak salah dengar kan? Midorima baru saja memanggil gadis itu sebagai istri Kuroko. Tidak menanggapi Midorima, Akashi pamit dengan senyum pahit. Jika gadis itu memang telah menjadi istri seseorang, terlebih istri sahabatnya, ia tidak ingin mengusik kehidupannya. Bukankah ia yang selalu meminta F/N berjanji untuk tetap bahagia apapun yang terjadi?

Hanya saja, ia tidak pernah menyangka kebahagiaan F/N bukan bersamanya, melainkan dengan pria lain. Biarlah ... gadis itu tidak perlu tahu bahwa ia telah kembali. Ia tidak akan membebani F/N dengan fakta bahwa ia kembali hanya demi dirinya. Biarlah gadis itu bahagia dengan pria pilihannya.

Kelihatannya aku pergi terlalu lama. Sudah sangat terlambat bagiku untuk menjemputmu, tapi biarkan aku tetap menjaga cinta ini, Gadis Kesayanganku. 

Kuroko no Basuke DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang