Taken - Aomine Daiki

1.2K 119 11
                                    

Aomine mengumpat saat suara tembakan kembali terdengar. Langkah kaki terus bersahutan, berlomba keluar dari lorong gelap yang membutakan indra penglihatan mereka. Sesekali telinganya mendengar ringisan dan teriakan berisi perintah untuk tidak membiarkan siapapun bisa keluar dari mansion yang tengah mereka tempati.

Seharusnya ia sudah bisa menduga rencana menyelinap dan memata-matai kriminal yang satu ini berakhir sia-sia. Seharusnya ia menahan salah satu rekannya untuk tidak bersikap ceroboh dan merusak penyamaran mereka. Seharusnya ... hanya itu kalimat yang terlintas di benak Aomine saat salah satu rekannya mengalami pendarahan karena perutnya berlubang oleh peluru.

"Kenapa helikopternya belum sampai juga?" desis Kaptennya. Kelihatannya ia juga tidak senang dengan perubahan rencana yang drastis ini. Yah ... setidaknya mereka sukses menyelamatkan sandera.

Suara tembakan dari pihak musuh kembali liar, berusaha mencegah mereka untuk keluar dari mansion. Siapa sangka mansion megah ini hanya penyamaran dari aktivitas kejam? Bahkan Aomine mendengus jijik saat melihat banyak sandera wanita yang setengah telanjang terkapar di atas kasur ketika mereka masih mampu menyelinap. Mereka sudah mati karena overdosis. Bajingan keji. Setelah menggunakan mereka sesuai keinginan hati sampai memberi obat agar tetap bisa dikendalikan, tidak satupun dari jasad wanita itu dikuburkan dengan layak. Rasanya Aomine ingin menghajar mereka satu persatu karena sudah memperlakukan wanita dengan tidak pantas.

"Aomine! Jangan melamun di saat seperti ini," suara Kaptennya memaksa Aomine keluar dari lamunan. "Kita berada dalam situasi mendesak. Satu langkah salah dan usaha kita berakhir sia-sia. Jemputan kita datang lima belas menit lagi."

Aomine menunduk saat ada peluru yang menabrak dinding tempatnya bersembunyi. Mereka terpaksa harus berlindung dari balik barang-barang besar yang ada di sekitar. Berlari di tengah peluru sama saja mencari mati. Teori ini sudah dibuktikan oleh salah satu rekan mereka yang terpaksa tinggal karena terlalu banyak lubang di tubuhnya.

"Apa!? Kita tidak punya lima belas menit untuk bertahan, Kapten," sahut Aomine. Ia menunjuk ke arah tiga wanita yang mereka temukan masih dalam keadaan setengah sadar. "Mereka tidak bisa bertahan di tengah hujan peluru dan dia," Aomine menunjuk ke arah rekannya yang terluka dan berusaha menekan luka menggunakan tangan dengan susah payah. "Ia tidak akan bertahan selama lima belas menit."

"Kita tidak punya pilihan lain selain bertahan saat ini," sahut Kapten dari balik dinding. Ia juga tidak puas dengan keputusan yang ia ambil sendiri. "Kalau kau punya saran yang lebih baik, aku siap mendengarkan."

Aomine mendengus. Ia meluapkan kekesalannya dengan memberi serangan balik dengan hujan peluru. Samar, telinganya mendengar suara dentingan logam beradu di tengah bisingnya letusan senjata api. Sejenak Aomine terdiam. Ia mengeluarkan kalung pengenal dari dalam seragamnya. Sudut bibirnya tertarik membentuk seringai tipis. Di dalam genggamannya ada kalung pengenal F/N yang bertumpuk dengan miliknya seperti simpul.

"Aku tidak keberatan mati untuk menyelamatkan nyawa orang yang tidak bersalah."

Suara F/N menggema di benaknya, memantapkan tekadnya untuk menyuarakan ide bodohnya.

"Aku bisa tinggal di sini sampai jemputannya datang," kata Aomine. Ia buru-buru menambahkan sebelum Kaptennya menolak idenya. "Hanya aku yang memiliki stamina paling banyak saat ini, juga karena latar belakangku sebagai mantan pemain basket, aku bisa lebih lincah dan gesit. Aku akan menahan mereka dan memberimu waktu untuk keluar. Hanya ini pilihan yang tidak memiliki risiko satu tim terbunuh."

Aomine tahu Kapten dan rekannya menolak mentah-mentah ide bunuh dirinya, tapi tidak ada satupun dari mereka yang mampu menyuarakannya karena baik dirinya atau mereka sama-sama tahu hanya itu jalan keluar yang paling baik. Skenario paling buruknya hanya akan ada satu nyawa yang hilang dari rencana ini.

Nyawanya.

"Kau tahu kalau ini adalah ide paling buruk yang pernah kaukatakan padaku?" Aomine menyeringai lebar dan mengangguk, menyadari Kaptennya memilih setuju dengan ide gilanya. "Kembali pada kami dengan senjatamu, Aomine. Aku tidak ingin kehilangan partner yang begitu hebat karena ide bunuh diri."

"Apapun yang kauinginkan, Kapten."

Aomine mempersiapkan dirinya untuk serangan balik seorang diri. Ia mengecek sisa amunisinya selama antek-antek kriminal itu masih berusaha melubangi tubuh rekan-rekannya, juga menyetel jamnya untuk berbunyi jika lima belas menit sudah berakhir. Aomine tahu saat mendesiskan perintah untuk pergi secepat mungkin ke arah pintu utama, Kaptennya sempat berbalik dan meliriknya seakan ia tidak akan kembali lagi.

"Cih, siapa juga yang ingin mati di tangan bajingan seperti mereka?" gumam Aomine seraya menunggu kesempatan.

"Kau harus berjanji padaku untuk kembali dengan selamat setiap kali pergi dengan tim-mu. Kembali padaku dan Daichi."

Aomine mengokang riflenya dengan cepat. Suara tembakan sudah berhenti dan ia mendengar beberapa dari mereka menanyakan apakah ia sudah mati. Aomine tersenyum meremehkan begitu mendengar beberapa langkah kaki mendekat ke arahnya. Bersembunyi di balik dinding lorong memang terbukti efektif untuk situasinya sekarang.

Mengukur jaraknya dengan musuh dengan mengandalkan suara langkah kaki bukanlah hal yang sulit. Seringai Aomine melebar saat ia yakin musuh sudah berada dalam jarak bidiknya. Ia menembak dengan cepat sebelum lawannya sempat berkutik. Sebisa mungkin Aomine mengarahkan pelurunya mengenai titik vital lawan, tapi keinginannya tidak terwujud sepenuhnya. Setidaknya setengah dari mereka sudah terkapar sekarang.

"Kau hebat sekali. Baik basket atau pekerjaanmu, kau selalu bisa memberikan yang terbaik. Aku sampai iri," suara F/N terus-menerus terdengar bagai kaset rusak. Namun, ia tidak akan mengeluh, mendengar suara istrinya memberikan keberanian yang luar biasa untuknya. "Kau salah satu dari orang paling berani yang pernah kutemui. Tidak salah aku mencintaimu, Daiki."

"Sial! Bagaimana bisa satu orang mampu menghabisi setengah dari kita!? Dasar bodoh," Aomine mendengar salah satu dari mereka mengumpat. "Hanya ini kemampuan kalian? Bos tidak akan senang dengan berita ini."

Bagai kuda yang dipecut, mereka seketika berubah ganas saat kata 'bos' diucapkan. Tapi Aomine bersama dengan istrinya sekarang. Dentingan plat logam berisi identitas mereka adalah buktinya.

Kalau saja kau masih ada, aku lebih memilih liburan bersama denganmu dan Daichi daripada mengikuti misi ini, batin Aomine tanpa menghentikan serangannya. Tapi, kalaupun kau masih ada, kau juga tidak akan membiarkanku ikut misi ini sendirian, kan?

Hantaman peluru di bagian perut dan sisi tubuh tidak menghentikan pergerakan Aomine, malah semakin liar. Ia menarik nafas panjang saat tidak ada seorang pun yang berdiri di sekitarnya, segerombol lawannya sudah tergeletak di lantai. Aroma darah menguar di udara, Aomine harus menahan diri untuk tidak merasa mual.

"Apapun yang terjadi kembalilah padaku. Walaupun hanya tubuh tanpa nyawa, kembalilah pada kami. Setidaknya Daichi bisa berkata dengan bangga bahwa Ayahnya meninggal sebagai seorang pahlawan."

"Heh ... bahkan hanya dengan mendengar suaramu, aku sudah merasa lebih baik," dengus Aomine. Ia melirik jam tangannya lalu menghela nafas dalam-dalam. Lima belas menit yang ia tunggu akhirnya datang.

Sudah waktunya kembali pada Daichi.

Ia berjalan tertatih sambil menutup pendarahan di perutnya. Sebelah tangannya yang lain berusaha menopang tubuh dengan bersandar pada dinding lorong. Seluruh tubuhnya terasa sakit, bahkan ia sudah bisa merasakan memar di sekitar punggung dan sisi wajahnya karena sempat beradu tinju dengan salah satu anggota komplotan.

"Maaf aku tidak bisa kembali padamu lagi. Aku egois, ya? Ingin kau tetap kembali pada kami, tapi tidak bisa memenuhi janji yang kubuat sendiri. Tapi aku tidak menyesal Daiki. Sama sekali tidak menyesal. Di saat terakhir hidupku, aku mampu menyelamatkan lima anak yang masih memiliki hidup panjang. Bukankah itu hal yang hebat?"

"Hebat. Kau sangat luar biasa," gumam Aomine seakan menyahuti ucapan F/N yang berada di pikirannya. Ia jatuh terduduk. Punggungnya bersandar pada dinding di belakang. Nafasnya terengah, sesekali ia meringis saat jarinya tanpa sengaja menyentuh luka.

"Sayangnya, aku juga menyesal karena tidak bisa memenuhi janjiku untuk kembali pada Daichi. Hah ... aku benci memikirkan ia akan sendirian di dunia ini karena sebentar lagi aku akan menyusulmu. Setidaknya kita bisa percaya dengan Tetsu. Tetsu pasti akan membesarkan Daichi dengan baik, kan?"

"Aomine!" suara Kaptennya lagi-lagi menarik Aomine keluar dari bayangan masa lalu tentang istrinya.

Kepalanya berkabut, ia tidak tahu apa yang sedang terjadi di sekitarnya, namun ia mendengar suara helikopter dan suara rekannya. Selanjutnya, ia menyadari bahwa dua dari rekannya membopongnya dengan hati-hati.

"Pendarahannya lumayan parah. Ia harus segera ke rumah sakit," kata salah satu rekannya.

"Tidak," tolak Aomine cepat. "Bawa aku pada anakku. Aku akan pergi ke rumah sakit setelah melihatnya baik-baik saja."

"Lukamu yang lebih penting, Aomine! Kau tidak akan bisa melihat putramu kalau kau terluka seperti ini," sanggah Kaptennya keras. Benar-benar tidak suka dengan gagasan konyol Aomine.

Ia menggeleng lemah. "Tidak ada yang lebih penting bagiku sekarang selain putraku."

Aomine sudah tidak mampu mencerna apapun lagi. Ia tidak bisa mendengar apa yang dikatakan oleh Kapten dan rekannya, juga tidak mendengar helikopter yang mulai terbang. Satu-satunya hal yang didengarnya adalah suara F/N, sebelum matanya terpejam dan ia tidak merasakan apapun lagi.

"Aku mencintaimu, Aomine Daiki. Suamiku yang paling berani, Ayah yang paling hebat dan pria paling luar biasa yang pernah kutemui. Aku sangat mencintaimu."

***

Aomine Daichi, putra Aomine Daiki dan Aomine F/N, sudah menginjak umur ke-delapannya tahun ini. Di usia semuda ini, ia sudah mengetahui pahitnya kehilangan seseorang yang begitu ia cintai. Ibunya meninggal saat bertugas setahun yang lalu.

Ia cukup mandiri untuk mengurus dirinya dan terkadang mengurus Ayahnya juga. Tidak. Daichi tidak akan mengeluh saat Ayahnya tidak sempat melihatnya memenangkan pertandingan basket atau saat Ayahnya tidak bisa mendampinginya di hari orangtua yang diadakan setahun sekali. Itu karena Daichi tahu, Ayahnya sedang menyelamatkan hidup orang lain dan hal itu tidak membuatnya kecewa.

Semenjak kepergian Ibunya, Ayahnya berubah menjadi penyendiri. Daichi tidak bisa menyalahkannya, karena ia sendiri tidak ingin melakukan kontak apapun dengan siapapun. Namun, pada suatu malam saat Ibunya datang melalui mimpi, Daichi tahu ia juga harus menjadi anak yang kuat untuk Ayahnya. Saat Daichi mengatakan mimpinya pada sang Ayah, mereka menjadi semakin dekat. Sesekali Ayahnya berbagi cerita tentang Ibu padanya.

Saat Ayahnya bertugas, Paman Tetsu yang menjaganya. Ia menyukai Pamannya, bahkan sampai mendeklarasikan bahwa Paman Tetsu adalah Paman favorit dari keempat Paman yang sering berkunjung ke rumah. Terkadang, ia juga membantu Paman Tetsu sebagai guru taman kanak-kanak.

Pernah suatu kali Paman Tetsu bertanya, mengapa ia sering sekali berada di sekolah daripada di rumah saat Ayahnya bertugas. 'Aku ingin membantu Paman Tetsu. Aku ingin membantu orang lain seperti yang dilakukan oleh Ayah dan Ibu.' Daichi bersumpah ia tidak pernah melihat senyum Paman Tetsu begitu cerah dan ia menyukainya.

Namun, saat melihat Paman Tetsu menemuinya dengan raut wajah datar setengah suram, ia yakin sesuatu terjadi pada Ayahnya.

"Ada apa Paman Tetsu? Sesuatu terjadi pada Ayah?" tanya Daichi tidak sabar.

Perasaan Daichi semakin kuat saat Paman Tetsu memeluknya alih-alih memberi jawaban. Pelukannya begitu erat dan penuh kalimat tidak terucapkan hingga Daichi menangis dalam pelukan Pamannya.

"Daichi-kun ikut ke rumah sakit, ya? Ayah ada di sana," suara Paman Tetsu terdengar begitu lirih di telinganya. Jelas sesuatu terjadi pada Ayahnya kalau ia berada di rumah sakit sekarang, kan?

Daichi tidak memiliki jawaban lain selain mengangguk pasrah.

Ia tidak bisa memikirkan apapun selama perjalanan menuju rumah sakit tempat Ayahnya berada. Bayangan tentang kematian Ibunya kembali terulang. Kejadiannya hampir sama, hanya saja saat itu yang mengemudikan mobil adalah Ayahnya. Ibu masih bernafas saat ia tiba dan masih bisa mencium kepalanya. Hari itu adalah pertama kali ia melihat Ayahnya menangis.

Namun, kejadian yang sama tidak terulang dua kali. Saat ia tiba, Ayahnya sudah tidak lagi bernafas. Perutnya bergejolak saat melihat kondisi sang Ayah yang memar dan terluka. Darah mengering di seragamnya. Daichi yakin seperti inilah bau kematian.

"Ayah ... Ayah! Ayah bangun! Ayah sudah janji akan main basket denganku! Ayah!"

Tidak ada seorangpun yang menghentikannya, bahkan Paman Tetsu hanya memeluk bahunya tanpa mengatakan apapun. Daichi menggenggam tangan Ayahnya yang besar. Tangan yang selalu menepuk punggungnya dengan lembut saat ia tidak bisa tidur, tangan yang mengusak rambutnya bangga saat ia berhasil memasukkan bola ke dalam ring, tangan yang memeluknya ketika sosok wanita dalam hidupnya pergi. Tangan yang kini membiru dan memar.

"Ayahmu menitipkan ini. Ia hanya berkata kalung ini hanya pantas dipakai olehmu," Daichi menerima kalung pengenal yang selalu dipakai kedua orangtuanya. "Bahkan sampai akhir, hanya kau yang paling penting baginya."

Tangis Daichi semakin keras. Kenyataan perlahan merasuki benaknya. Kenyataan bahwa ia tidak lagi memiliki orangtua, kenyataan bahwa ia sebatang kara di dunia ini. Namun, jauh di dalam hatinya ia tahu. Ia tahu di manapun orangtuanya berada sekarang, entah berada di langit atau berada di sekitarnya dalam bentuk lain, Daichi tahu mereka akan selalu mengawasinya.

"Paman ... Paman Tetsu akan tetap bersamaku, kan? Aku tidak sendirian, kan?" tanya Daichi menghadap pada Pamannya.

Paman Tetsu mengangguk. "Tentu saja Daichi-kun. Tentu saja aku akan tetap bersamamu."

Setidaknya, ia masih bisa mendengar cerita tentang orangtuanya dari seseorang yang begitu dekat dengan mereka. Dalam hati, Daichi berjanji akan menjadi apa yang orangtuanya inginkan, berjanji untuk tidak membuat mereka sedih karena mengkhawatirkannya.

Karena sesaat ia melihat jasad Ayahnya menghilang, Aomine Daichi tidak akan pernah sama lagi.

Aku udah pernah post cerita ini di akun collab, cuma kupikir karena cerita ini masih ceritaku, gak masalah kalau kuupload di book-ku sendiri.

So what do you think guys? Udah cukup menyayat hati belum?

Kuroko no Basuke DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang